tanda hitam di dahi

Tanda Hitam pada Dahi

Google Image
Ada hal yang menarik ketika dulu tanpa sengaja saya sekilas menangkap pembicaraan kawan saya di ma’had tentang masalah tanda hitam di dahi. Tanda hitam bulat yang katanya menandakan bahwa pemilik tanda itu rajin sujud (baca: shalat). Tapi kemudian ada kalimat yang semakin menarik perhatian saya. Ketika kawan saya itu bilang, “Iya, ane pernah mergokin temen ane di depan kaca lagi pake alat pijit buat ngitemin jidatnya.”
Woww!
Sejak itu saya mulai memperhatikan orang-orang di sekitar saya, asatidz dan kawan-kawan saya. Saya lihat ada beberapa kawan saya yang rata-rata berusia 20 tahunan di dahinya sangat jelas tampak ada bulatan hitam legam. Lalu saya perhatikan ustadz-ustadz saya yang rata-rata udah hampir setengah abad usianya (bahkan ada yang lebih), kok malah nggak ada ya? Memang ada beberapa, tapi hitamnya kecil dan samar-samar, hampir tidak terlihat. Loh kok bisa gini? Logika saya langsung bekerja. Kawan saya baru mulai belajar Islam 1-2 tahun yang lalu, sedangkan asatidz pasti sudah jauh lebih lama berdakwah dan beribadah. Kalau memang tanda hitam itu adalah menunjukkan bahwa seseorang itu rajin sujud (baca: shalat), kenapa orang yang lebih lama mulai sholat tidakk ada bekas hitam di dahinya? Apakah benar apa yang diucapkan oleh kawan saya di atas? Wallahu a’lam pastinya, karena saya tidak ingin mengira-ngira karena sampai saat ini saya belum menemukan bukti bahwa bekas hitam itu adalah bekas tanda yang dibuat-buat. Saya hanya pernah tahu beberapa kawan saya yang pernah bekam di dahi dan sampai sekarang tanda bekas bekamnya tidak hilang.
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud” (QS Al Fath: 29)
Yang jadi pertanyaannya kemudian adalah, apa benar tanda yang dimaksud di ayat tersebut adalah tanda hitam di dahi? Apakah memang benar? Dan apakah warna kehitaman di dahi itu selalu menunjukkan keimanan dan ketaqwaan seseorang?
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tak satu orangpun di antara umatku yang tidak kukenali pada Hari Kiamat.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Bagaimana engkau dapat mengetahuinya, wahai Rasulullah, sedangkan engkau berada di tengah-tengah banyaknya makhluk?” Beliau bersabda, “Apakah kalian dapat mengetahui sekiranya kalian memasuki tumpukan makanan yang di dalamnya terdapat sekumpulan kuda berwarna hitam pekat yang tidak dapat tertutup oleh warna lain, dan di dalamnya terdapat pula kuda putih bersih, dapatkah kalian dapat melihatnya?” Mereka berkata, “Tentu!” Beliau bersabda, “Sesungguhnya umatku pada hari itu berwajah putih bersih karena (bekas) sujud dan karena (bekas) wudhu’.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dengan sanad yang shahih; Tirmidzi juga meriwayatkan hadits ini, dengan komentar : shahih). Hadis ini pula yang dijadikan dalil bahwa tanda (sima) dari bekas sujud tersebut hanya tampak pada Hari Kiamat.
Hadits Nabi hanya menunjukkan bekas dari sujud adalah bersih dan cerahnya wajah, bukan tanda hitam. Lalu mari kita simak pendapat para ulama mengenai tafsir QS Al Fath: 29
  • Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksudkan dengan ‘tanda mereka…” adalah perilaku yang baik.
  • Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang kuat dari Mujahid bahwa yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an.
(Tafsir Mukhtashar Shahih hal 546)
  •  Tafsir Al-Qurthubi Juz 16, hlm. 291, bahwa Ibn Abbas dan Mujahid menafsirkan kata “bekas sujud” sebagai : khusyu’ dan tawadhu’.
  • Sementara itu Ibn Jarir Ath Thabari di dalam Tafsirnya, Jami’ Al Bayan Juz 26, hlm 141, mengutip perkataan Muqatil bin Hayyan dan Ali bin Mubarak dari Al Hasan bahwa yang dimaksud “min atsari sujud” disana adalah cahaya yang tampak pada wajah orang-orang beriman pada Hari Kiamat kelak sebagai bekas shalat dan wudhu’nya. Bahkan di dalam tafsirnya tersebut, Ibnu Jarir juga mengutip perkataan sahabat Ibnu Abbas yang menolak penafsiran ayat secara literal dengan kata-kata : “Hal itu bukanlah seperti yang kalian kira, karena maksudnya (dari kalimat min atsari sujud) adalah tanda-tanda ke-islaman (ketundukan dan kepasarahan) serta kekhusyu’an.”
Shahabat tidak mempunyai bekas tanda hitam di dahinya:
Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat As Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama Az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, As Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah, bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah, aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubra no 3701).
Bahkan Nabi dan Khulafaur Rasyidin juga tidak mempunyai tanda itu:
Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah Anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut. Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh, aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakar, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubra no 3698)
Tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan orang-orang yang di dahinya ada tanda hitam. Intinya adalah, tanda hitam itu bukanlah melambangkan maksud dari QS Al Fath ayat 29 yaitu tanda karena bekas sujud, tapi mungkin bisa disebabkan oleh faktor lain yang Wallahu a’lam kita tidak mengetahuinya.

MENGENAL 8 PINTU SURGA

“…Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya sudah terbuka, berkatalah penjaga-penjaganya, ‘Kesejahteraan (dilimpahkan) atas kalian, berbahagialah kalian! Maka masukilah surga ini sedang kalian kekal didalamnya.” (QS. Az-Zumar: 73)

Bagi orang mukmin yang bertakwa disediakan oleh Allah swt. yang Maha Besar sebuah surga berisi segala bentuk kenikmatan. Surga dan kenikmatan yang ada di dalamnya masyhur dikenal sebagai sesuatu yang tak pernah dilihat oleh mata, didengar telinga atau terlintas di hati manusia seperti kita. Suatu tempat yang sangat spesial, unik dan otentik, yang merupakan rahasia Allah atas makhluk-Nya yang bertakwa.

Sebagaimana diberitakan Al-Qur’an, surga memiliki pintu-pintu. Lewat pintu-pintu itulah orang mukmin dari zaman awal hingga zaman akhir, juga Nabi Muhammad saw. beserta umatnya akan berbondong-bondong masuk. Allah berfirman dalam surat Shad, ayat 49-50, “Ini adalah kehormatan (bagi mereka). Dan sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa benar-benar (disediakan) tempat kembali yang baik, (yaitu) surga 'Adn yang pintu-pintunya terbuka bagi mereka.”

Al-Qur’an menceritakan bahwa pintu-pintu surga akan dibuka bilamana orang-orang mukmin telah sampai di sana. Malaikat-malaikat yang menjaganya akan menyambut mereka seraya menyerukan salam kesejahteraan dan kedamaian bagi orang-orang yang memang berhak atas nikmat surga itu.

“Kesejahteraan dilimpahkan atas kalian, berbahagialah kalian! Maka masukilah surga ini sedang kalian kekal di dalamnya,” ujar para malaikat sebagaimana termaktub dalam ayat ke-73, surat Az-Zumar di atas.

Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, kata “pintu-pintu yang terbuka” memiliki makna bahwa pintu surga adalah pintu yang membuat penghuninya dapat leluasa masuk dengan lancar ke dalamnya. Mereka juga dapat mondar-mandir di dalamnya. Lewat pintu itu pula, malaikat-malaikat bebas mendatangi mereka dengan membawa hadiah dan rezeki dari Allah swt. dan apa saja yang menggembirakan mereka. Surat Ar-Ra’d ayat ke 24 menyebutkan bahwa para malaikat menyabangi penghuni surga lewat pintu-pintu yang terbuka itu seraya menyerukan salam yang sangat indah, “Salamun Alaikum bima shabartum.”

Demikianlah pintu-pintu surga yang terbuka yang melambangkan keridhaan Allah ketika menyambut makhluk-Nya yang ikhlas, yang menghamba pada-Nya sebagaimana janji yang ditetapkan-Nya. Lalu apa sajakah pintu-pintu surga itu?

Delapan Pintu dan Amalan Khusus

Penjelasan terperinci mengenai pintu-pintu surga tertuang dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah melalui periwayatan Imam Bukhari dan Muslim.

Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa membelanjakan sebagian harta kekayaannya di jalan Allah swt., ia akan dipanggil dari pintu-pintu surga dan surga memiliki delapan buah pintu. Orang yang mengerjakan shalat (secara teratur dan benar) akan dipanggil dari pintu shalat, orang yang sering bersedekah akan dipanggil dari pintu sedekah, orang yang berjihad akan dipanggil dari pintu jihad dan orang yang sering berpuasa secara teratur akan dipanggil dari pintu puasa.”

Abu Bakar lalu bertanya, “Adakah orang yang akan dipanggil dari semua pintu itu, ya Rasulullah?”

Nabi menjawab, “Ada dan kuharap kau salah satu dari mereka.”

Bisa ditarik kesimpulan bahwa di surga ada pintu-pintu khusus yang akan dimasuki orang yang memiliki amal khusus dan menonjol dalam hidupnya. Yang bagus dari segi shalat, meliputi kekhusyuan, kesempurnaan waktu dan rukunnya serta sering melakukan shalat sunnah, maka dia akan memasuki surga lewat pintu shalat. Demikian pula yang ahli sedekah akan masuk lewat pintu sedekah. Seperti juga yang berjihad dan berpuasa. Untuk pintu puasa, Nabi menambahkan keterangan lewat sabdanya:

"Di dalam surga terdapat delapan pintu, salah satunya sebuah pintu yang disebut dengan "ar-Rayyan". Tidak memasuki pintu tersebut kecuali orang-orang yang berpuasa, dan apabila mereka sudah memasukinya, pintu itu akan dikunci lagi, sehingga tidak ada yang masuk lewatnya." Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dari Sahal bin Sa’ad.

Kesimpulan yang juga tampak jelas dari hadits-hadits shahih ini adalah bilangan pintu surga yang berjumlah delapan. Inilah pendapat yang masyhur di kalangan ulama salaf. Empat pintu di antaranya telah disebut Nabi saw. Lalu apakah empat pintu yang lain?

Imam Al-Qurthubi dalam Rahasia Kematian Alam Akhirat dan kiamat, mengutip ucapan Qadhi Iyadh yang berujar, “Dalam hadits tadi, yang disebutkan oleh Muslim baru empat pintu saja. Selebihnya adalah pintu taubat, pintu orang-orang yang menahan amarah, pintu orang-orang yang ridha, dan pintu kanan tempat orang yang masuk surga tanpa hisab.”

Mengenai pintu terakhir yang disebut Qadhi Iyadh, yakni pintu tempat masuk orang yang meraih surga tanpa menjalani hisab terlebih dahulu mendapat konfirmasinya dari hadits shahih Bukhari-Muslim tentang syafaat. Hadits itu dari Abu Hurairah yang berkata bahwa Nabi saw. bersabda, “Allah berfirman, ‘Hai Muhammad, bawalah masuk orang-orang dari umatmu yang tidak perlu dihisab ke dalam surga melalui pintu dibagian kanan surga, sedangkan yang lain dapat masuk dari pintu-pintu yang lain sebagaimana yang dilakukan oleh para penghuni surga lainnya’.”

Sedang mengenai kepastian pintu-pintu yang lain tak didapat keterangan lugasnya. Namun, para ulama meyakini bahwa amal kebajikan manusialah yang menjadi alasan bagi kekhususan pintu-pintu surga itu. Kebajikan itulah hal utama yang membuat seseorang akan masuk surga lewat satu pintu atau dapat melalui pintu yang manapun yang dia kehendaki karena amal perbuatannya memadai untuk lewat di semua pintu surga yang telah disediakan Allah. Beberapa ulama lain berpendapat bahwa pintu surga sebenarnya berjumlah banyak.

Luas dan Ciri Pintu Surga

Sebuah hadits dari Abu Hurairah memberitakan mengenai luasnya pintu surga. Hadits yang merupakan riwayat dari Bukhari, Ahmad, dan Abu Uwanah itu menceritakan bahwa suatu ketika kepada Nabi dihidangkan semangkuk roti yang dimasak dengan daging. Rasulullah lantas menggigit lengan kambing pada bagian yang paling digemarinya dan berujar, “Aku adalah pemimpin manusia pada hari kiamat.” Kata-kata ini diucapkan Nabi sebanyak dua kali yang ternyata dimaksudkan untuk memancing pertanyaan dari para sahabat kenapa hal itu bisa terjadi. Nabi yang mulia itu lalu bercerita bahwa ia datang ke Arsyi, lalu bersujud di hadapan Allah dan Allah menempatkan dirinya pada tempat yang belum pernah ditempati siapa pun sebelumnya dan tak akan ditempati siapa pun sesudahnya.

Kemudian Nabi bertanya mengenai umatnya dan Allah pun berfirman, “Wahai Muhammad masukkan umatmu yang tidak dihisab lewat pintu sebelah kanan. Mereka bebas masuk pintu-pintu lainnya.” Kemudian Nabi pun bersabda, “Demi Muhmmad yang jiwanya ada ditangan-Nya, jarak antara kedua panel daun pintu surga adalah seperti Mekah dan Hajar atau Hajar dan Mekah.”

Hadits ini menjadi pijakan kuat bagi informasi mengenai luas pintu surga yang gaib bagi kita itu. Jarak antara Mekah dan Hajar sendiri diperkirakan berjarak 1160 km. Sedangkan dalam redaksi lain yang juga diyakini keshahihannya, jarak pintu surga adalah seperti Mekah dan Basrah, yakni 1250 km.

Di luar penjelasan ini terdapat beberapa hadits yang dianggap lebih lemah semisal hadits riwayat Ahmad dalam Musnad-nya yang ia dengar dari Al-Jariri yang berkata bahwa Nabi saw bersabda, “Jarak antara dua daun pintu surga adalah empat puluh tahun. Pada suatu hari, ia penuh sesak.” Sementara itu, hadits lain ada yang menyebut luas antara dua daun pintu surga adalah tujuh puluh tahun perjalanan. Waallahu A’lam.

Mengenai ciri-ciri pintu surga didapat penjelasan dari Walid bin Muslim bahwa pintu-pintu surga itu dapat dilihat oleh manusia. Bagian luar pintu-pintu surga itu dapat dilihat dari dalam dan bagian dalamnya dapat dilihat dari luar. Menurutnya, pintu surga itu dapat berbicara dan orang dapat berbicara dengannya. Pintu-pintu surga juga memahami perkataan seperti, “Bukalah atau tutuplah.”

Ciri pintu surga yang lain adalah memiliki rantai sebagaimana diberitakan Anas bin Malik. Ia menyebut bahwa Nabi pernah berkata, beliaulah yang pertama kali memegang rantai pintu surga dan itu merupakan kebanggaan tinggi yang tak ada kebanggaan lain melebihi itu. Ibnu Uyainah juga menyebut, sebagaimana diriwayatkan Imam Tirmidzi bahwa Nabi saw menyebut rantai itu dipegang beliau dan kemudian digerak-gerakkannya. Demikian sebagaimana ditulis Ibnu a-Qayyim Al-Jauziyyah dalam Tamasya ke Surga.

Selanjutnya ciri pintu surga dianggap bersesuaian dengan keadaan surga yang bertingkat-tingkat. Jadi surga yang lebih tinggi memiliki pintu yang lebih luas dibanding tingkatan surga yang lebih rendah. Secara logis juga diyakini, jika luas surga bermacam-macam maka luas pintunya juga bermacam-macam. Waallahu a’lamu bishawab.