Sering kita menganggap bahwa sadar sama dengan terjaga, padahal kedua kata mempunyai arti yang berbeda. Sadar berarti keadaan “menyadari” dan memahami suatu yang terjadi pada dirinya atau lingkungan sekitarnya. Sedangkan terjaga adalah sekedar melek atau tidak tertidur atau tidak pingsan. Bisa saja orang yang terjaga tidak menyadari segala sesuatu yang terjadi pada dirinya. Misal orang yang mabuk atau orang yang melamun. Sehingga memahami bahwa tersadar dengan terjaga adalah kondisi yang berbeda.
Secara umum kualitas kesadaran berkait dengan fungsi akal seseorang. Kualitas kesadaran yang baik, menunjukan fungsi akal yang baik juga. Sedangkan kesadaran dan akal bisa menjadi parameter atas kualitas jiwa seseorang. Atau dengan kata lain jika akal dan kesadaran rusak maka jiwanya pun rusak, dan begitulah sebaliknya.
Maka pada kesempatan ini kita dapat menyimpulkan bahwa akal dan kesadaran adalah fungsi utama pada jiwa seseorang. Seseorang dikatakan berjiwa sehat jika akal dan kesadarannya berfungsi secara sehat. Dan jiwa dikatakan tidak sehat jika akal dan kesadaran seseorang sedang tidak sehat.
Saudaraku yang selalu dalam penjagaan Allah SWT, mengamati kualitas akal, kesadaran dan jiwa sesorang ternyata tidaklah statis, tetapi bertingkat-tingkat seiring dengan kesadarannya. Ada 4 tingkat kesadaran pada diri kita, yang memberikan gambaran tentang kualitas jiwa.
1. Kesadaran Indrawi
Tingkat kesadaran ini adalah yang paling rendah pada diri seseorang, yang ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya sangat bertumpu pada fungsi panca indranya. Ia bisa memahami apa yang dilihatnya, ia bisa mengerti segala yang didengarnya, ia bisa menikmati apa yang dicium oleh indra penciumannya dan dirasakan oleh lidahnya dan kulitnya. Ketika seseorang berada pada kesadran indrawi ini, ia memperoleh nuansa pemahaman terhadap segala yang terjadi sangat nyata dan cenderung materialistik. Mereka hanya dapat memahami apa bila terjangkau oleh panca indranya. Segala sesuatu yang tidak terjangkau oleh panca indra bakal tidak diakui sebagai keberadaa. Atau kita tidak merasa perlu memikirkannya dan kemudian mengacuhkannya.
Orang semacam ini sesungguhnya terjebak pada pola pikir materialistik dan terbelakang. Kenapa demikian? Karena sesungguhnya sistem panca indra kita sangatlah terbatas. Sehingga lucu juga jika kita bergantung pada suatu yang terbatas itu untuk memahami realitas. Sebagai contoh, apa yang terjadi pada orang yang buta warna. Kalau seorang penderita buta warna bersikeras bahwa realitas warna yang ada disekitarnya adalah seperti kefahamannya, maka anda pasti akan menertawakannya.
Sebab orang yang buta warna memang tidak faham bahwa alam sekitarnya berwarna-warni. Apalagi kalau orang tersebut buta warna total akan lebih parah lagi ia hanya tahu bahwa degradasi warna itu hanya hitam, abu-abu dan putih.
Sebenarnya kalau mau intropeksi, penglihatan kita demikian terbatasnya. Bahkan pada orang yang paling sempurna penglihatannya. Karena sistem kerja penglihatan kita ternyata demikian menipu. Sebenarnya apa yang kita lihat bukanlah realitas. Sesungguhnya antara kenyataan dan apa yang kita fahami adalah 2 hal yang berbeda. Kita bukan melihat benda sesungguhnya, kecuali sekedar bayang-bayang yang tertangkap oleh lensa mata kita, diteruskan ke retina, dan kemudian ke otak sebagai pulsa-pulsa listrik belaka. Jika pulsa listrik itu mengalami distorsi, maka pusat penglihatan itu bakal salah dalam memahami penglihatan tersebut.
Jadi kefahaman yang disimpulkan sangat bergantung pada kualitas jalur penglihatan mulai dari lensa, retina, syaraf-syaraf penglihatan sampai dengan sel-sel otak yang terkait dengan proses penglihatan. Padahal kita tahu bahwa ketajaman lensa mata kita tidaklah tertalu tinggi, misalnya, lensa mata kita tidak mampu melihat benda yang sangat kecil, seprti pori-pori kulit kita, bakteri, virus, molekul, atom, proton, electron dan neutron, apalagi quark. Yang terlalu besarpun tidak sanggup, cobalah melihat gajah dalam jarak 1 cm dari badannya, malah kita tidak sanggup melihatnya. Belum lagi melihat dalam kegelapan, atau ditempat yang sangat terang menyilaukan. Kita melihat fatamorgana seperti air ditanah yang tandus dan panas. Gunung berwarna biru yang sebenarnya kalau didekati ia berwarna hijau dedaunan. Sengkatnya penglihatan kita sangatlah terbatas.
Sehingga banyak hal yang tidak dapat kita fahami hanya dengan mengandalkan sekedar melihat. Demikian pula dengan indra yang lain, seperti hidung. Saat lewat ditempat penampungan sampah terasa bau sekali. Tapi jika kita berhenti disitu dan bertahan selama 1 jam lamanya, ternyata indra penciuman kita dapat berkompromi yang lambat laun tidak begitu terasa bau. Kenapa demikian karena hidung kita dapat beradaptasi. Itulah sebabnya kesadaran atau kefahaman yang hanya didasari pada panca indra saja bakal menjebak kita pada kekeliruan yang mendasar.
Panca indra tidak cukup digunakan untuk memahami kenyataan. Karena ternyata kenyataan yang terhampar disekitar kita berbeda dengan tertangkap oleh mata, telinga, dan seluruh panca indra. Hanya anak kecillah yang bertumpu sepenuhnya pada pemahaman panca indranya untuk membangun kefahaman terhadap realitas disekitarnya.
2. Kesadaran rasional/Ilmiah
sesorang pada tingkat ini, memahami realitas kehidupan, tidak bergantung hanya bertumpu pada panca indra, tapi eksplorasi lebih jauh dengan mengambil pelajaran dari orang lain, bahkan akan menyimpulkan dari berbagai penelitian yang berkait dengan masalahnya. Ia membandingkan dengan hasil-hasil pengamatan yang menggunakan alat-alat bantu yang lebih canggih, atau analisa-analisa matematis dan perhitungan keilmuan lainnya. Sebagai contoh, kalau kita melihat sepotong logam, tampak bahwa logam itu adalah benda padat yang tidak berlubang dan tidak tembus penglihatan. Akan tetapi jika kita menggunakan mikroskop electron untuk melihat sepotong logam, kita bakal melihat suatu yang berbeda. Ternyata logam tersebut berpori dan kropos seperti busa.
Contoh lain, kita tidak dapat melihat janin di dalam rahim seorang ibu dengan mata telanjang. Tapi dengan menggunkan USG maka kita akan mendapatkan pemahaman yang lebih utuh tentang alam semesta dan lingkungan hidupnya. Pada tingkatan ini tiba-tiba ia melihat dunia ini berbeda, bukan seperti yang ia amati selama ini. Banyak hal yang tidak terdeteksi dan kini bermunculan. Kini ia melihat, mencium, mendengar dan merasa dengan akalnya. Seseorang yakin bahwa sebelum makan ia harus cuci tangan dengan sabun, karena bisa jadi dari aktivitas sebelumnya telah banyak bakteri atau virus yang menempel ditangannya. Padahal penglihatan matanya terhadap tangannya bersih-bersih saja.
Penglihatan akalnyalah yang mengatakan bahwa tangannya sudah tidak bersih. Inilah yang digambarkan Allah SWT, dalam QS. Al Ankabuut (29): 43 Dan perumpamaan-perumpamaan ini kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. Juga pada QS. Ar Ra’d (13): 19 Maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan Tuhan kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.
Menurut laporan Life Science Amerika Serikat, bahwa sejumlah besar misteri yang sulit dipecahkan dalam tubuh manusia terhimpun di dalam otak besar. Otak besar merupakan organ yang paling membingungkan kita, seperti misalnya hidup dan mati, kesadaran, tidur dsb, semua itu adalah misteri yang belum mampu dipecahkan manusia hingga saat ini.
Jika kita menanyakan soal yang sama pada 10 orang, apa yang menyebabkan kita bermimpi? Mungkin anda akan memperoleh 10 jawaban yang tidak sama. Ini dikarenakan misteri yang belum bisa dipecahkan ilmuwan saat ini. Teori pertama bahwa melalui rangsangan saraf informasi antar molekul otak besar menjalankan latihan terhadap otak besar selama mimpi berlangsung. Teori lainnya adalah orang-orang bermimpi akan tugas dan perasaan yang tidak sempat diperhatikan lagi, dalam proses demikian bisa membantu kita memperkuat ingatan dan pikiran. Umumnya, ilmuwan setuju dengan pengertian bahwa “mimpi bisa terjadi saat tidur sebentar”.
Dalam sepanjang hidup manusia sedikitnya menghabiskan ¼ waktunya untuk tidur. Tidur sangat vital bagi keberlangsungan hidup makhluk menyusui, tidur dalam jangka yang terlalu lama dapat menyebabkan kurang sadarkann diri, halusinasi, dan pada akhirnya menyebabkan kematian.
Dua kondisi selama tidur berlangsung yakni masa tidur penuh (aktivitas bola mata melambat), saat demikian aktivitas metabolisme otak melambat; dan masa tidur sebentar (saat demikian bisa bermimpi), saat demikian aktivitas otak sangat dinamis. Menurut ilmuwan bahwa tidur dalam masa sepenuhnya dapat membuat tubuh kita istirahat, menjaga stamina, seperti tidurnya binatang. Tidur dalam masa sebentar dapat membantu membentuk sesuatu yang diingat, namun, pengertian ini belum dibuktikan.
Diperkirakan sekitar 80% orang yang diamputasi pernah mengalami perasaan tersiksa, stres, keinginan, kehangatan dan lain-lain perasaan. Orang yang mengalami fenomena demikian, selalu merasa anggota tubuh yang dipotong masih eksis. Sebuah penjelasan berpendapat, daerah saraf yang terpotong membentuk hubungan yang baru dengan sumsum tulang belakang, dimana anggota tubuh yang kurang seolah-olah masih ada, terus mengirim sinyal ke otak besar. Kemungkinan lainnya, otak besar adalah sebuah “kawat” transmisi, ia mengendalikan tubuh yang cacad bagaikan memperlakukan tubuh yang sempurna tanpa cacad, ini berarti otak besar tetap menyimpan kendali ketika anggota tubuh masih dalam keadaan utuh dan sempurna.
Tertawa adalah salah satu perilaku manusia yang paling sulit dimengerti. Saat kita tertawa, ada tiga bagian otak besar kita menjadi dinamis yakni: daerah dalam kekuasaan pikiran, ia membuat Anda mendapatkan banyolan (tertawa); daerah gerakan mendorong otot Anda bergerak; daerah emosi (perasaan) membuat kita menyunggingkan senyuman. Perintis peneliti humor John Morryer mendapati, suara tawa adalah sebuah reaksi yang sangat menarik terhadap cerita yang menyalahi kebiasaan. Dan pengertian lainya menganggap tawa sebagai sebuah saluran yang mengirimkan informasi “menarik (lucu)” kepada orang lain. Dengan demikian tampak jelas: tertawa membuat perasaan kita lebih baik.
Apakah pikiran dan sifat kita dikendalikan oleh gen atau berhubungan dengan lingkungan pertumbuhan sesudah lahir, masalah ini selalu diperdebatkan selama ini. Untungnya, para ilmuwan tengah berupaya mencoba mengumpulkan sejumlah besar bukti yang meyakinkan, untuk menjawab pertanyaan di atas. Kurangnya kemampuan meneliti gen individual, menunjukkan bahwa kita sama sekali tidak mampu mengendalikan atas sejumlah besar karakteristik manusia. Namun, beberapa hasil penelitian mendapati, bahwa dalam banyak hal, tekanan yang dihadapi segenerasi atau pendidikan yang diterima, akan menimbulkan dampak yang dalam terhadap orang yang bagaimana, dan apa yang akan kita lakukan.
da sebuah doa yang diajarkan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam. Di dalamnya terkandung permohonan agar Allah melindungi kita dari empat keburukan. Doanya berbunyi sebagai berikut:
Di masa Nabi ada seorang pendeta Yahudi bernama Hushain bin Salam bin Harits. Ia percaya bahwa Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam merupakan Nabi di akhir zaman sebagimana diterangkan dalam riwayat Taurat dan Injil. Setelah kedatangan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam ke Madinah iapun masuk Islam. Setelah memeluk Islam Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengubah namanya menjadi Abdullah bin Salam. Di bawah ini kami cuplik kisahnya berkenaan dengan hubungannya dengan kaum Yahudi sebagaimana ditulis oleh Munawar Chalil dalam bukunya ”Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad”.
sumber : eramuslim.com
Gambar otak manusia bagian depan yang disebut Allah dalam Al Qur’an Al Karim dengan kata nashiyah (ubun-ubun).
Al-Qur’an menyifati kata nashiyah dengan kata kadzibah khathi’ah (berdusta lagi durhaka). Allah berfirman, “(Yaitu) ubun-ubun yang mendustakan lagi durhaka.” (Al-‘Alaq: 16)
Bagaimana mungkin ubun-ubun disebut berdusta sedangkan ia tidak berbicara? Dan bagaimana mungkin ia disebut durhaka sedangkan ia tidak berbuat salah?
Prof. Muhammad Yusuf Sakr memaparkan bahwa tugas bagian otak yang ada di ubun-ubun manusia adalah mengarahkan perilaku seseorang. “Kalau orang mau berbohong, maka keputusan diambil di frontal lobe yang bertepatan dengan dahi dan ubun-ubunnya. Begitu juga, kalau ia mau berbuat salah, maka keputusan juga terjadi di ubun-ubun.”
Kemudian ia memaparkan masalah ini menurut beberapa pakar ahli. Di antaranya adalah Prof. Keith L More yang menegaskan bahwa ubun-ubun merupakan penanggungjawab atas pertimbangan-pertimbangan tertinggi dan pengarah perilaku manusia. Sementara organ tubuh hanyalah prajurit yang melaksanakan keputusan-keputusan yang diambil di ubun-ubun.
Karena itu, undang-undang di sebagian negara bagian Amerika Serikat menetapkan sanksi gembong penjahat yang merepotkan kepolisian dengan mengangkat bagian depan dari otak (ubun-ubun) karena merupakan pusat kendali dan instruksi, agar penjahat tersebut menjadi seperti anak kecil penurut yang menerima perintah dari siapa saja.
Dengan mempelajari susunan organ bagian atas dahi, maka ditemukan bahwa ia terdiri dari salah satu tulang tengkorak yang disebut frontal bone. Tugas tulang ini adalah melindungi salah satu cuping otak yang disebut frontal lobe. Di dalamnya terdapat sejumlah pusat neorotis yang berbeda dari segi tempat dan fungsinya.
Lapisan depan merupakan bagian terbesar dari frontal lobe, dan tugasnya terkait dengan pembentukan kepribadian individu. Ia dianggap sebagai pusat tertinggi di antara pusat-pusat konsentrasi, berpikir, dan memori. Ia memainkan peran yang terstruktur bagi kedalaman sensasi individu, dan ia memiliki pengaruh dalam menentukan inisiasi dan kognisi.
Lapisan ini berada tepat di belakang dahi. Maksudnya, ia bersembunyi di dalam ubun-ubun. Dengan demikian, lapisan depan itulah yang mengarahkan sebagian tindakan manusia yang menunjukkan kepribadiannya seperti kejujuran dan kebohongan, kebenaran dan kesalahan, dan seterusnya. Bagian inilah yang membedakan di antara sifat-sifat tersebut, dan juga memotivasi seseorang untuk bernisiatif melakukan kebaikan atau kejahatan.
Ketika Prof. Keith L Moore melansir penelitian bersama kami seputar mukjizat ilmiah dalam ubun-ubun pada semintar internasional di Kairo, ia tidak hanya berbicara tentang fungsi frontal lobe dalam otak (ubun-ubun) manusia. Bahkan, pembicaraan merembet kepada fungsi ubun-ubun pada otak hewan dengan berbagai jenis. Ia menunjukkan beberapa gambar frontal lobe sejumlah hewan seraya menyatakan, “Penelitian komparatif terhadap anatomi manusia dan hewan menunjukkan kesamaan fungsi ubun-ubun.
Ternyata, ubun-ubun merupakan pusat kontrol dan pengarauh pada manusia, sekaligus pada hewan yang memiliki otak. Seketika itu, pernyataan Prof. Keith mengingatkan saya tentang firman Allah, “Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 56)
Beberapa hadits Nabi SAW yang bericara tentang ubun-ubun, seperti doa Nabi SAW, “Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu dan anak hamba perempuan-Mu, ubun-ubunku ada di tangan-Mu…”
Juga seperti doa Nabi SAW, “Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan setiap sesuatu yang Engkau pegang ubun-ubunnya…”
Juga seperti sabda Nabi SAW, “Kuda itu diikatkan kebaikan pada ubun-ubunnya hingga hari Kiamat.”
Apabila kita menyandingkan makna nash-nash di atas, maka kita menyimpulkan bahwa ubun-ubun merupakan pusat kontrol dan pengendali perilaku manusia, dan juga perilaku hewan.
Makna Bahasa dan Pendapat Para Mufasir:
Allah berfirman, yang artinya :
“Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang berdusta lagi durhaka.” (Al-‘Alaq: 15-16)
Kata nasfa’ berarti memegang dan menarik. Sebuah pendapat mengatakan bahwa kata ini terambil dari kalimat safa’at asy-syamsu yang berarti matahari mengubah wajahnya menjadi hitam. Sementara kata nashiyah berarti bagian depan kepala atau ubun-ubun.
Mayoritas mufasir menakwili ayat bahwa sifat bohong dan durhaka itu bukan untuk ubun-ubun, melainkan untuk empunya. Sementara ulama selebihnya membiarkannya tanpa takwil, seperti al-Hafizh Ibnu Katsir.
Dari pendapat para mufasir tersebut, jelas bahwa mereka tidak tahu ubun-ubun sebagai pusat pengambilan keputusan untuk berbuat bohong dan durhaka. Hal itu yang mendorong mereka untuk menakwilinya secara jauh dari makna tekstual. Jadi, mereka menakwili shifat dan maushuf (yang disifati) dalam firman Allah, “Ubun-ubun yang dusta lagi durhaka” itu sebagai mudhaf dan mudhaf ilaih. Padahal perbedaan dari segi segi bahasa antara shifat dan maushuf dengan mudhaf dan mudhaf ilaih itu sangat jelas.
Sementara mufasir lain membiarka nash tersebut tanpa memaksakan diri untuk memasuki hal-hal yang belum terjangkau oleh pengetahuan mereka pada waktu itu.
Sisi-Sisi Mukjizat Ilmiah:
Prof. Keith L Moore mengajukan argumen atas mukjizat ilmiah ini dengan mengatakan, “Informasi-informasi yang kita ketahui tentang fungsi otak itu sebelum pernah disebutkan sepanjang sejarah, dan kita tidak menemukannya sama sekali dalam buku-buku kedokteran. Seandainya kita mengumpulkan semua buku pengobatan di masa Nabi SAW dan beberapa abad sesudahnya, maka kita tidak menemukan keterangan apapun tentang fungsi frontal lobe atau ubun-ubun. Pembicaraan tentangnya tidak ada kecuali dalam kitab ini (al-Qur’an al-Karim). Hal itu menunjukkan bahwa ini adalah ilmu Allah yang pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu, dan membuktikan bahwa Muhammad adalah Utusan Allah.
Pengetahuan tentang fungsi frontal lobe dimulai pada tahun 1842, yaitu ketika salah seorang pekerja di Amerika tertusuk ubun-ubunnya stik, lalu hal tersebut memengaruhi perilakunya, tetapi tidak membahayakan fungsi tubuh yang lain. Dari sini para dokter mulai mengetahui fungsi frontal lobe dan hubungannya dengan perilaku seseorang.
Para dokter sebelum itu meyakini bahwa bagian dari otak manusia ini adalah area bisu yang tidak memiliki fungsi. Lalu, siapa yang Muhammad SAW bahwa bagian dari otak ini merupakan pusat kontrol manusia dan hewan, dan bahwa ia adalah sumber kebohongan dan kesalahan.
Para mufasir besar terpaksa menakwili nash yang jelas bagi mereka ini karena mereka belum memahami rahasianya, dengan tujuan untuk melindungi Al Qur’an dari pendustaan manusia yang jahil terhadap hakikat ini di sepanjang zaman yang lalu. Sementara kita melihat masalah ini sangat jelas di dalam Kita Allah dan Sunnah Rasulullah SAW, bahwa ubun-ubun merupakan pusat kontrol dan pengarah dalam diri orang dan hewan.
Jadi, siapa yang memberitahu Muhammad SAW di antara seluruh umat di bumi ini tentang rahasia dan hakikat tersebut? Itulah pengetahuan Allah yang tidak datang kepadanya kebatilan dari arah depan dan belakangnya, dan itu merupakan bukti dari Allah bahwa Al Qur’an itu berasal dari sisi-Nya, karena ia diturunkan dengan pengetahuan-Nya. Oleh Syaikh Zindani dari eramuslim.com