Asal Mula Puasa(Saum)

Kata saum makna aslinya berpantang dalam arti sebenar-benarnya (al-imsaku ‘anil-fi’li), mencakup pula berpantang makan, bicara, dan berjalan. Seekor kuda yang berpantang makan dan berjalan, disebut saim. Demikian pula angin pada waktu mereda, dan siang hari pada waktu mencapai tengah-tengahnya, juga disebut saum (R). Kata saum dalam arti berpantang bicara, digunakan oleh Qur’an Suci dalam wahyu Makkiyah permulaan: “Katakanlah, aku bernazar puasa kepada Tuhan Yang Maha-pemurah, maka pada hari ini aku tak berbicara dengan siapa pun” (19:26). Menurut istilah syari’at Islam, kata saum atau siyam berarti puasa, atau berpantang makan dan minum dan hubungan seksual mulai waktu fajar hingga matahari terbenam.
Aturan puasa dalam agama Islam
Dalam agama Islam, aturan puasa itu ditetapkan setelah aturan shalat. Kewajiban puasa itu ditetapkan di Madinah pada tahun Hijrah kedua, dan untuk menjalankan ini, ditetapkanlah bulan Ramadan. Sebelum itu, Nabi Suci biasa melakukan puasa sunnat pada tanggal 10 bulan Muharram, dan beliau menyuruh pula supaya para sahabat berpuasa pada hari-hari itu. Menurut Siti ‘Aisyah, tanggal 10 Muharram dijadikan pula hari puasa bagi kaum Quraisy (Bu. 30:1).
Jadi asal mula adanya aturan puasa dalam Islam, ini terjadi sejak zaman Nabi Suci masih di Makkah. Tetapi menurut Ibnu ‘Abbas, setelah Nabi Suci hijrah ke Madinah, beliau melihat kaum Yahudi berpuasa pada tanggal 10 Muharram, dan setelah beliau diberitahu bahwa Nabi Musa suka menjalankan puasa pada hari itu untuk memperingati dibebaskannya bangsa Israel dari perbudakan raja Fir’aun, beliau lalu menyatakan bahwa kaum Muslimin lebih dekat kepada Nabi Musa daripada kaum Yahudi, maka beliau menyuruh agar hari itu dijadikan hari puasa (Bu. 30:69).
Peraturan universal
Dalam Qur’an Suci, bab puasa hanya dibicarakan dalam satu tempat, yaitu dalam ruku’ 23 Surat al-Baqarah saja, walaupun di lain tempat ada pula uraian tentang puasa, tetapi sebagai fidyah, artinya tebusan dalam suatu perkara.
Ruku’ tersebut diawali dengan pernyataan aturan puasa adalah aturan universal: “Wahai orang-orang yang beriman, puasa diwajibkan kepada kamu sebagaimana diwajibkan pula kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjaga diri dari kejahatan” (2:183). Benarnya uraian ini, yakni puasa “diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu”, ini dibuktikan oleh sejarah agama. Hampir semua agama besar yang diturunkan di dunia terdapat aturan puasa, walaupun tak sama tekanannya dan tak sama pula bentuk dan motifasinya. “Cara dan motifnya berbeda-beda tergantung kepada iklim, kebangsaan, peradaban dan keadaan lain, tetapi sulit sekali untuk menyebut puasa suatu aturan agama yang samasekali tak dikenal” (Ency. Bri. bab Puasa).
Hanya agama Kong Hu Cu sajalah yang menurut salah seorang penulis Encyclopaedia Britannica tak mengenal aturan puasa. Agama Zaratustra sering juga disebut sebagai agama yang tak mengenal puasa, “menyuruh kepada para pendeta supaya sekurang-kurangnya menjalankan puasa lima tahun sekali”. Pada dewasa ini agama Kristen tak begitu menganggap perlu menjalankan ibadah puasa, akan tetapi Yesus Kristus bukan saja menjalankan puasa empatpuluh hari dan menjalankan puasa pada hari Penebusan sebagai orang Yahudi sejati, melainkan pula menyuruh muridnya supaya menjalankan puasa. Sabdanya: “Dan apabila kamu puasa, janganlah kamu menyerupai orang munafik dengan muramnya … Tetapi engkau ini, apabila engkau puasa, minyakilah kepalamu, dan basuhlah mukamu” (Matius 6:16-17).
Terang sekali bahwa murid beliau menjalankan puasa, tetapi tak begitu kerap seperti orang-orang Baptis, yang pada waktu ditanyakan mengenai itu, beliau menjawab bahwa mereka akan seringkali menjalankan puasa setelah beliau mangkat (Lukas 5:33-35). Dalam Injil diuraikan bahwa orang-orang Kristen zaman permulaan menjalankan puasa (Kisah Rasul-Rasul 13:2-3; 14:23). Bahkan Santo Paulus pun berpuasa (2 Korintus 6:5; 1:27).
Pengertian baru yang diketengahkan oleh Islam
Pernyataan Tuan Cruden dalam kitab Bible Concordance, bahwa semua umat hanya menjalankan puasa “pada waktu berkabung, dukacita dan kemalangan”, ini diperkuat oleh banyak fakta. Pada umumnya, di kalangan kaum Yahudi, puasa itu dijalankan sebagai tanda berkabung dan dukacita. Misalnya Nabi Dawud dikatakan menjalankan puasa tujuh hari pada waktu puteranya yang masih kecil sakit (Kitab Samuel II, 12:16, 8), demikian pula puasa sebagai tanda berkabung diuraikan dalam Kitab Semuil I, 31:13 dan di tempat lain.
Selain Hari Penebusan, yang oleh syari’at Musa ditetapkan sebagai Hari Puasa (Kitab Imamat Orang Lewi 16:29), yang intinya agar orang-orang merendahkan hatinya dengan berpuasa, sedang para pendeta menebusi mereka agar mereka suci dari dosa. Masih ada lagi beberapa hari puasa yang dipopulerkan setelah Hari Pembuangan, sekedar untuk “memperingati kejadian-kejadian yang menyedihkan tatkala kerajaan Yudah dihancurkan” (En. Br.), di antaranya, ada empat hari puasa yang dijalankan secara tertib, “untuk memperingati permulaan dikepungnya kota Yerusalem, bedahnya kota itu, dihancurkannya Kanisah, dan dibunuhnya Gedaliah” (En. Br.). Jadi sudah menjadi kebiasaan bahwa kesusahan atau peristiwa yang menyedihkan diperingati dengan puasa. Hanya puasa Nabi Musa sebanyak 40 hari, yang teladan ini kelak kemudian diikuti oleh Nabi ‘Isa, ini bukan puasa untuk memperingati dukacita, melainkan puasa yang dijalankan sebagai persiapan untuk menerima wahyu. Agama Kristen tak mengetengahkan pengertian baru tentang puasa. Sabda Yesus Kristus bahwa para murid beliau akan kerap menjalankan puasa setelah beliau mangkat, ini hanya memperkuat pengertian kaum Yahudi tentang puasa yang dihubungkan dengan dukacita dan berkabung.
Agaknya yang menjadi dasarnya pengertian tentang perbuatan orang untuk secara sukarela menjalankan penderitaan dalam bentuk puasa pada waktu terjadi kemalangan dan dukacita, ialah untuk meredakan murka Tuhan dan untuk memohon kasih-sayang-Nya. Agaknya pengertian inilah yang lama kelamaan berkembang menjadi pengertian bahwa puasa adalah perbuatan untuk menebus dosa, karena, orang beranggapan bahwa kemalangan dan malapetaka itu disebabkan karena dosa, dengan demikian puasa merupakan perwujudan lahir adanya perubahan batin dengan jalan tobat.
Hanya dalam agama Islam sajalah puasa berkembang menjadi memiliki arti yang tinggi. Islam menolak samasekali pengertian puasa untuk meredakan murka Tuhan atau memohon kasih sayang Tuhan dengan menjalankan penderitaan secara sukarela; dan sebagai gantinya, Islam mengetengahkan aturan puasa yang harus dijalankan secara teratur dan terus menerus, yang ini sebagai sarana untuk mengembangkan daya-daya batin manusia, seperti halnya shalat, tanpa memandang keadaan orang-seorang atau bangsa, apakah dalam keadaan senang atau susah. Walaupun di dalam Qur’an Suci diuraikan mengenai puasa yang dijalankan sebagai tebusan (fidyah), ini hanyalah merupakan alternatif dari perbuatan kedermawanan, yaitu memberi makan kepada kaum miskin atau memerdekakan budak belian.
Adapun aturan puasa dalam bulan Ramadan, itu dimaksud untuk melatih disiplin tingkat tinggi bagi jasmani, akhlak dan rohani, dan ini nampak dengan jelas dengan diubahnya bentuk dan motif puasa, yaitu dengan dibuatnya puasa menjadi aturan yang permanen, dengan demikian, puasa pada bulan Ramadan tak ada hubungannya dengan pengertian puasa pada waktu menderita kesusahan, kemalangan dan berbuat dosa, bahkan dalam Qur’an dijelaskan, bahwa tujuan puasa yang sejati ialah “agar kamu menjaga diri dari kejahatan (tattaqun)”. Kata tattaqun berasal dari kata ittaqa artinya, menjaga sesuatu dari yang membahayakan dan bisa melukainya, atau menjaga diri dari yang dikuatirkan yang akan berakibat buruk pada dirinya (R).
Akan tetapi selain arti tersebut, kata itu digunakan oleh Qur’an Suci dalam arti menetapi kewajiban, seperti tersebut dalam 4:1, dimana diuraikan bahwa kata arham (ikatan keluarga) dijadikan pelengkap (object) dari kata ittaqu; demikian pula kata ittaqullah dimana Allah dijadikan pelengkap bagi kata ittaqu; oleh sebab itu arti kata ittaqa dalam hal ini ialah menetapi kewajiban. Menurut bahasa Qur’an, orang yang bertaqwa (muttaqin), ialah orang yang telah mencapai derajat rohani yang amat tinggi. “Allah adalah kawan orang-orang yang bertaqwa (muttaqin)” (45:19). “Allah mencintai orang muttaqi” (3:75; 9:4, 7). “Kesudahan yang baik adalah bagi orang muttaqin” (7:128; 11:49: 28:83). “Orang muttaqin akan memperoleh tempat perlindungan yang baik” (38:49). Masih banyak lagi ayat yang menerangkan bahwa menurut Qur’an Suci, orang muttaqi ialah orang yang telah mencapai derajat rohani yang tinggi. Oleh karena tujuan puasa itu untuk menjadi orang muttaqi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa perintah Qur’an menjalankan puasa itu bertujuan agar orang dapat mencapai derajat rohani yang tinggi.
Disiplin rohani
Puasa menurut Islam, terutama sekali untuk melatih disiplin rohani. Dalam dua tempat (9:112; 66:5), Qur’an Suci menerangkan bahwa orang yang puasa itu disebut sa-ih (berasal dari kata saha, makna aslinya, bepergian), artinya musafir rohani. Menurut Imam Raghib, jika orang menjauhkan diri, bukan saja dari makan dan minum, melainkan pula dari segala macam kejahatan, ia disebut sa-ih (R). Pada waktu Qur’an Suci membicarakan puasa bulan Ramadan, tercantum satu ayat yang khusus menerangkan dekatnya manusia pada Allah, oleh karena dekatnya manusia dengan Allah itulah yang dituju oleh puasa. Lalu pada ayat itu ditambah kata-kata: “Maka hendaklah mereka memenuhi seruan-Ku (dengan menjalankan puasa), dan beriman kepada-Ku, agar mereka dapat menemukan jalan yang benar” (2:186).
Dalam Hadits juga ditekankan bahwa tujuan puasa ialah untuk mencari ridla Ilahi. “Orang yang menjalankan puasa dalam bulan Ramadan, karena iman kepada-Ku dan mencari keridlaan-Ku” (Bu. 2:28). Nabi Suci bersabda: “Puasa itu perisai, maka dari itu orang yang sedang puasa janganlah berbicara kotor … dan sesungguhnya bau mulut orang yang puasa itu lebih harum, menurut Allah, daripada minyak kesturi, ia berpantang makan dan minum dan syahwat hanya untuk mencari ridla-Ku; puasa hanyalah untuk-Ku” (Bu. 30:2). Tak ada godaan yang lebih besar daripada godaan untuk memenuhi gejolak makan dan minum apabila makanan dan minuman telah tersedia, namun godaan dapat diatasi, bukan hanya sekali atau dua kali, yang seakan-akan hanya kebetulan saja, melainkan berhari-hari sampai satu bulan lamanya, dengan tiada tujuan lain kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Ia dapat saja menikmati makanan yang lezat, namun ia tetap memilih lapar; ia mempunyai minuman yang segar, namun ia tetap mengeringkan tenggorokkannya menahan dahaga. Ia tak mau menyentuh makanan dan minuman hanya karena ia sadar bahwa itu perintah Allah. Di dalam rumah yang sepi, tak ada orang yang tahu bahwa ia bisa membasahi tenggorokannya dengan segalas minuman segar, namun dalam batinnya telah berkembang perasaan dekat kepada Allah, hingga ia tak mau meneteskan setetes air pun ke dalam mulutnya. Apabila datang godaan baru, ia pasti dapat mengatasi itu, karena pada saat-saat kritis, terdengar suara batin: “Tuhan ada di sampingku, dan Tuhan melihatku”. Tak ada ibadah yang dapat mengembangkan perasaan dekat kepada Allah dan perasaan berada di samping-Nya, selain ibadah puasa yang dijalankan terus-menerus hingga satu bulan lamanya.
Adanya Allah, yang bagi orang lain baru pada tingkat iman, tetapi bagi dia sudah merupakan realitas, dan kenyataan ini hanya dapat dicapai dengan disiplin rohani yang menjadi dasarnya puasa. Kesadaran akan adanya hidup yang tinggi, lebih tinggi dari-pada hidup yang hanya untuk makan dan minum, telah menghayati dirinya, dan hidup itu ialah kehidupan rohani.
Disiplin Moral
Puasa itu juga dasarnya disiplin moral, karena, puasa merupakan tempat latihan, dimana manusia diajarkan akhlak yang tinggi, yaitu ajaran supaya manusia siap menghadapi penderitaan yang amat berat dan tahan menghadapi cobaan berat, dan pantang menyerah kepada sesuatu yang terlarang baginya. Ajaran itu diulang setiap hari hingga sebulan lamanya, dan sebagaimana latihan jasmani dapat memperkuat tubuh manusia, demikian pula melatih akhlak dengan puasa, yaitu menjauhkan diri dari segala sesuatu yang terlarang, akan memperkuat segi moral bagi hidupnya. Pengertian bahwa segala sesuatu yang terlarang harus disingkiri, dan segala sesuatu yang buruk harus dibenci, ini hanya dapat dikembangkan melalui puasa. Dengan jalan puasa dapat dicapai pula aspek yang lain bagi perkembangan akhlak manusia, yaitu menaklukkan nafsu jasmaninya.
Manusia mengatur waktu makan dengan berselang-seling, dan ini memang aturan hidup yang baik; tetapi puasa selama sebulan mengajarkan kepadanya ajaran yang tinggi, yaitu bahwa ia bukan lagi menjadi budak nafsu makan dan nafsu jasmaninya, melainkan ia menjadi majikannya, karena dapat mengubah haluan hidupnya sesuai dengan kemauannya. Manusia yang dapat menguasai nafsunya, yaitu mengendalikan nafsu itu sesuai dengan keinginannya, bahkan kekuatan batinnya begitu kuat sehingga ia dapat memerintah nafsunya, ia adalah manusia yang telah mencapai derajat akhlak yang paling tinggi.
Nilai Sosial Ibadah Puasa
Sebagaimana diuraikan dalam Qur’an Suci, puasa itu selain mempunyai nilai-nilai moral dan rohani, mempunyai pula nilai sosial yang lebih efektif daripada nilai sosial shalat. Pada waktu shalat, semua penduduk di sekeliling Masjid, baik kaya maupun miskin, orang besar maupun orang kecil, shalat berjamaah lima kali sehari di Masjid dalam kedudukan yang sama, dengan demikian, pergaulan masyarakat yang sehat dapat dicapai melalui shalat. Tetapi dengan tibanya bulan Ramadan, maka gerakan massa menuju persamaan derajat bukan saja terbatas di sekeliling Masjid, atau di seluruh negeri, melainkan mencakup seluruh Muslim di dunia. Mungkin orang kaya dan miskin berdiri bahu-membahu di Masjid, tetapi di rumah, mereka hidup dalam lingkungan keluarga yang jauh berbeda. Si kaya duduk menghadap meja yang penuh makanan enak, dan dengan makanan yang lezat ini mereka mengisi perutnya empat sampai enam kali sehari, tetapi si miskin, tak kecukupan untuk makan dua kali sehari.
Bagi si miskin seringkali merasakan lapar, sedang perasaan semacam ini tak pernah dirasakan oleh si kaya. Lalu bagaimana agar si kaya ikut merasakan rasa lapar seperti si miskin dan menaruh simpati kepadanya? Jadi dalam rumah tangga terdapat perbedaan sosial yang menyolok antara dua golongan masyarakat, dan rintangan ini hanya dapat disingkirkan dengan membuat si kaya ikut merasakan rasa lapar seperti saudara-saudaranya yang miskin, yang tempo-tempo satu hari penuh tak makan, dan pengalaman semacam itu harus mereka rasakan terus-menerus, bukan satu atau dua hari saja, melainkan selama satu bulan penuh.
Dengan demikian, orang kaya dan miskin di seluruh dunia Islam menjadi sama kedudukannya, yaitu hanya diperbolehkan makan dua kali sehari, yakni dikala buka dan sahur saja, dan walaupun makanan si kaya jauh berlainan dengan makanan si miskin, tetapi si kaya telah dipaksa untuk mengurangi menunya dan dipaksa makan yang lebih sederhana, sehingga si kaya semakin dekat dengan saudara-saudaranya yang miskin. Sudah tentu perilaku semacam itu akan menimbulkan rasa simpati terhadap kaum miskin. Oleh sebab itu, khusus dalam bulan Ramadan, orang diperintahkan untuk banyak mengeluarkan sedekah, terutama sedekah fitrah guna menolong kaum fakir miskin.
Dari : Kitab Islamologi, Bab. Saum Oleh : Maulana Muhammad Ali MA. LLB

Tingkatkan Kesadaran Anda (2)

3. Kesadaran Spiritual
Kesadaran tingkat tiga ini mulai menggeser tumpuan kefahamannya, dari rasionalitas di kesadaran tingakt dua, menjadi bertumpu pada kefahaman yang lebih dalam. Dia mulai menggeser rasionalitas menjadi bertumpu pada’rasa’. Tiba-tiba dia melihat dan merasakan suatu yang maha Perkasa berada di balik realitas yang sedang dieksplorasinya. Dan kemudian menemui tembok pembatas yang sanagt kokoh membentur, rasionalitasnya.
Dia bertemu dengan Sebuah Kekuasaan yang tiada terperikan. Yang Mengatur, dan mengendalikan alam semesta dengan kecerdasan yang luar biasa. Sebagai contoh, ketika manusia melihat bulan, bintang dan matahari dan sejumlah meteor yang jatuh ke bumi. Banyak manfaat yang diambil dengan pengamatan indrawi. Dimana manusia bisa memanfaatkannya sebagai penentu arah perjalanan dengan berpedoman rasi bintang. Ia tahu arah timur, utara, barat dan selatan.
Namun kesadaran indrawi lantas menjebak manusia, pada kenyataan apa yang dilihatnya bahwa matahari mengelilingi bumi sebagaimana bulan. Padahal telah terbukti bahwa bumilah yang mengelilingi matahari. Inilah yang paling mendekati kenyataan ditinjau dari rasionalitas keilmuan.
Dengan melakukan pengamatan tidak langsung dan perhitungan matematis dan analis yang lebih abstrak, ternyata hasilnya bertolak belakang dengan realitas indrawi. Disini manusia dihadapi pada dua pemahaman yang sangat berbeda ketika menggunakan tingkat kesadaran yang berbeda. Kalau kita melanjutkan, maka kesadaran spiritual bakal memberikan hasil yang lebih hebat lagi dalam memahami kenyataan. Kesadaran rasional, atau ‘mata imajiner’ memiliki keterbatasan dalam menangkap ‘makna’ yang tersimpan dalam kenyataan. Makna yang terkandung dalam pesan Penciptaan.
Makna yang menjurus kepada adanya Dzat yang tiada Berhingga, yang menampilkan kecerdasan tiada terkira. Dalam sejarah ilmu pengetahuan mutakhir, dua aliran kesadaran telah melakukan pertarungan panjang untuk memahami realitas. Kelompok pertama yang diwakili oleh ilmuwan materialis. Sedangkan kelompok kedua diwakili oleh ilmuwan agamis. Kelompok pertama berpendapat bahwa alam semesta yang demikian dahsyat ini terbentuk dengan sendirinya, tanpa melibatkan Tuhan sebagai sang Pencipta. Sedangkan kelompok kedua justru ‘melihat’ adanya ‘Kecerdasan Super’ yang terlibat secara aktif dalam munculnya segala realitas yang mempesona.
Kelompok pertama menggunakan mata imajiner, sedangkan kelompok kedua menggunakan mata spiritual untuk memahami alam semesta. Hasil akhirnya adalah dua pendapat yang sangat berbeda padahal keduanya sama-sama ingin memahami kenyataan yang sama. Dan perdebatan ini berlangsung sengit hingga sekarang. Ternyata mata imajiner tidak sanggup melihat hakikat ‘ sesuatu’ dibalik mekanisme yang demikian aneh dan cerdas itu. Ini dikarenakan kesadaran rasional tidak lebih dari perpanjangan dari kesadaran indrawi yang pada substansinya ia masih melihat pada hal-hal yang bersifat fisik.
Padahal ‘makna’ yang terkandung di balik realitas itu bersifat non fisik. Yaitu sebuah kefahaman yang sangat abstrak. Yang lebih dekat kepada ‘rasa’. Dan inilah objek dari indra ke enam yang disebut hati. QS. Al Hajj (22); 46. maka tidak pernahkah mereka berjalan di muka bumi, sehingga hati mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dialam dada.
Jadi pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi, manusia hanya bisa memperoleh makna, ketika ia menggunakan hatinya sebagai sensor. Bukan lagi mata fisik. Orang yang menggunakan mata hatinya bakal bisa ‘melihat’ Allah dibalik segala kenyataan fisik yang dilihatnya. Atau dengan kalimat lain, ia telah bisa melihat merasakan kehadiran Allah diseluruh benda dan kejadian yang berinteraksi dengannya.
4. Kesadaran Tauhid
Inilah kesadaran paling tinggi. Sebuah proses lanjut dari kesadaran Spiritual. Kesadaran tauhid dicirikan oleh menyatunya segala kefahaman menjadi Tauhiddullah. Alias meng Esakan Allah semata. Bukan hanya ‘persepsi’ tapi telah menjalar keseluruh sikap dan perbuatannya. Kesadaran inilah yang bakal melahirkan kepasrahan yang mendalam kepada Allah SWT, tingkat tertinggi dalam agama Islam yang disebut sebagai ‘muslimun’. Kesadaran tauhid dimulai dengan munculnya sebuah ‘surprise’ kemanapun kita menghadap, selalu bertemu dengan Allah.
Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. AL Baqoroh (2); 115, Dan kepunyaan Allahlah Timur dan Barat, maka kemanapun kamu menghadap disanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. QS. Ath Thalaq (65); 12 Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padany, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmuNya benar-benar meliputi segala sesuatu.
Ya, Allah tiba-tiba hadir dimana-mana, disetiap yang kita lihat, disetiap yang kita dengar, dipersoalan yang kita fikirkan, dan disegala sesuatu yang kita lakukan. Bahkan Allah hadir dalam sekujur tubuh kita. Mulai dari denyut jantung, tarikan nafas, geliat otot-otot, percikan sinyal-sinyal listrik di sel-sel syaraf dan otak. Allah hadir di segala penjuru kehidupan kita. Seseorang yang telah mencapai Kesadaran Tauhid tiba-tiba menjadi begitu jernih melihat kehadiran Allah dalam hidupnya. Ketika sedang sendirian, tiba-tiba menjadi begitu jernih melihat kehadiran Allah dalam hidupnya.
Ketika sedang sendirian, tiab-tiba ia merasakan betapa Allah telah hadir ditarikan dan hembusan nafasnya. Ia seakan-akan bisa melihat betapa oksigen yang dihirupnya meresap ke dalam paru-parunya, ditangkap oleh gelembung-gelembung alveoli, kemudian diedarkan ke milyaran sel-sel tubuhnya oleh mekanisme peredaran darah yang mengagumkan.
Ia melihat betapa Allah hadir dan aktif mengendalikan seluruh mekanisme distribusi oksigen itu. Ia bisa merasakan, betapa ngerinya jika Allah tidak hadir dalam proses pengangkutan oksigen itu. Proses itu bakal menjadi amburadul tidak terkendali. Jaringan alveoli di dalam paru-paru tidak mampu menangkap gelembung oksigen. Dan kemudian, darah tidak mengangkuti oksigen itu sebagaimana mestinya. Maka dalam beberapa menit, sel-sel dalam tubuh kita akan mengalami kematian massal dengan sangat dramatis. Konsisi ini dirasakan seperti tercekik, badan membiru, pingsan, mengalami kerusakan berbagai organ dan kemudian meninggal.
Betapa dominannya kekuasaan Allah berperan dalam proses ini. Dalam waktu bersamaan Allah mempertontonkan KetuhananNya. ‘Kekuasaan’, ‘Ketelitian’, ‘Kehalusan’, ‘Kehendak’, dan Kasih SayangNya. Bercampur dalam proses pasokan oksigen kedalam tubuh mahluk hidup. Bisakah kita bayangkan jika Allah berhenti satu menit saja dalam mengurus mahlukNya. Maka seluruh mahluk hidup akan mengalami masalah serius dalam seluruh proses metabolismenya. Dan seluruh benda langit akan mengalami tabrakan yang sangat dramatis. Kalau kita cermati lebih jauh, kita akan bergidik merasakan betapa DahsyatNya allah Sang Penguasa dan Sang Pencipta itu, dalam waktu bersamaan mengatur kehidupan milyaran pepohonan. Ada yang bertunas, berbunga, berbuah, bercabang, rontok dan layu diterpa angin.
Ditempat yang lain Allah menggerakkan angin, mendorong awan dan menurunkan hujan. Sekaligus hujan turun dalam butiran air, sehingga tidak merusaki daerah yang disirami air hujan. Bayangkan air hujan turun dalam bentuk air terjun, tentunya akan terjadi banyak bencana. QS. Zukhruh (43): 11 Dan yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu kami hidupkan dengan air itu negri yang mati, seprti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur). Dalam waktu bersamaan Allah mengendalikan 4-5 milyar genome yang bertanggung jawab terhadap reaksi kimia yang terkait dengan sifat-sifat khas seseorang. Ini berarti untuk seluruh manusia yang sekitar 5 milyar, dalam waktu bersamaan Allah mengendalikan 25 juta triliun reaksi biokomiawi di dalam seluruh manusia yang hidup di muka bumi. Dan semuanya kritis.
Jika terjadi penyimpangan satu reaksi saja, maka akan ada penyimpangan kesehatan pada seseorang. Jadi sehat tidaknya seseorang berada dalam genggaman Allah, lewat salah satu keseimbangan reaksi-reaksi biokimiawi tersebut. Puncak yang kita bahas ini adalah muncul sebuah kefahaman, bahwa semua peristiwa kritis itu hanya dikendalikan oleh Sosok Tunggal saja. Sebab jika tidak seluruh koordinasi itu akan menjadi kacau balau. Persis seperti apa yang difirmankan Allah berikut ini, QS Al Anbiyaa’ (21); 22. Sekiranya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selainAllah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arsy’ dari pada apa yang mereka sifatkan. Sehingga logis Allah memberikan argumentasi kepada kita. Jika tidak mengikuti satu saja aturan Allah, pastilah alam akan merasakan kerusakan, apakah itu kerusakan moral atau kerusakan alam yang pada akhirnya menuju pada kehancuran.
Sampai disinilah puncak pencarian seseorang terhadap hakekat kehidupan. Maka seluruh Jiwa dan Raga kita telah mengakui keberadaan Allah. Bukan hanya kiblat shalatnya saja, tetapi ia merasakan kehadiran Allah di seluruh penjuru kehidupannya. Pada saat itulah seseorang telah mencapai kesadaran tinggi, yaitu kesadaran Tauhid. Hidup baginya hanya bermakna satu saja, yaitu: Laa ilaaha illallah, tidak ada Tuhan (diseluruh penjuru alam semesta ini) kecuali Allah. Yang dirinya beserta seluruh mahluk ada di dalam genggaman KekuasaanNya. Ia telah mencapai kenyakinan final yang tidak bakal tergoyahkan.
Sumber : Rubrik Tarbiyatun Nafs bersama Bp. Ageng Sadnowo Refianto

Tingkatkan Kesadaran Anda (1)

Sering kita menganggap bahwa sadar sama dengan terjaga, padahal kedua kata mempunyai arti yang berbeda. Sadar berarti keadaan “menyadari” dan memahami suatu yang terjadi pada dirinya atau lingkungan sekitarnya. Sedangkan terjaga adalah sekedar melek atau tidak tertidur atau tidak pingsan. Bisa saja orang yang terjaga tidak menyadari segala sesuatu yang terjadi pada dirinya. Misal orang yang mabuk atau orang yang melamun. Sehingga memahami bahwa tersadar dengan terjaga adalah kondisi yang berbeda.
Secara umum kualitas kesadaran berkait dengan fungsi akal seseorang. Kualitas kesadaran yang baik, menunjukan fungsi akal yang baik juga. Sedangkan kesadaran dan akal bisa menjadi parameter atas kualitas jiwa seseorang. Atau dengan kata lain jika akal dan kesadaran rusak maka jiwanya pun rusak, dan begitulah sebaliknya.
Maka pada kesempatan ini kita dapat menyimpulkan bahwa akal dan kesadaran adalah fungsi utama pada jiwa seseorang. Seseorang dikatakan berjiwa sehat jika akal dan kesadarannya berfungsi secara sehat. Dan jiwa dikatakan tidak sehat jika akal dan kesadaran seseorang sedang tidak sehat.
Saudaraku yang selalu dalam penjagaan Allah SWT, mengamati kualitas akal, kesadaran dan jiwa sesorang ternyata tidaklah statis, tetapi bertingkat-tingkat seiring dengan kesadarannya. Ada 4 tingkat kesadaran pada diri kita, yang memberikan gambaran tentang kualitas jiwa.
1. Kesadaran Indrawi
Tingkat kesadaran ini adalah yang paling rendah pada diri seseorang, yang ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya sangat bertumpu pada fungsi panca indranya. Ia bisa memahami apa yang dilihatnya, ia bisa mengerti segala yang didengarnya, ia bisa menikmati apa yang dicium oleh indra penciumannya dan dirasakan oleh lidahnya dan kulitnya. Ketika seseorang berada pada kesadran indrawi ini, ia memperoleh nuansa pemahaman terhadap segala yang terjadi sangat nyata dan cenderung materialistik. Mereka hanya dapat memahami apa bila terjangkau oleh panca indranya. Segala sesuatu yang tidak terjangkau oleh panca indra bakal tidak diakui sebagai keberadaa. Atau kita tidak merasa perlu memikirkannya dan kemudian mengacuhkannya.
Orang semacam ini sesungguhnya terjebak pada pola pikir materialistik dan terbelakang. Kenapa demikian? Karena sesungguhnya sistem panca indra kita sangatlah terbatas. Sehingga lucu juga jika kita bergantung pada suatu yang terbatas itu untuk memahami realitas. Sebagai contoh, apa yang terjadi pada orang yang buta warna. Kalau seorang penderita buta warna bersikeras bahwa realitas warna yang ada disekitarnya adalah seperti kefahamannya, maka anda pasti akan menertawakannya.
Sebab orang yang buta warna memang tidak faham bahwa alam sekitarnya berwarna-warni. Apalagi kalau orang tersebut buta warna total akan lebih parah lagi ia hanya tahu bahwa degradasi warna itu hanya hitam, abu-abu dan putih.
Sebenarnya kalau mau intropeksi, penglihatan kita demikian terbatasnya. Bahkan pada orang yang paling sempurna penglihatannya. Karena sistem kerja penglihatan kita ternyata demikian menipu. Sebenarnya apa yang kita lihat bukanlah realitas. Sesungguhnya antara kenyataan dan apa yang kita fahami adalah 2 hal yang berbeda. Kita bukan melihat benda sesungguhnya, kecuali sekedar bayang-bayang yang tertangkap oleh lensa mata kita, diteruskan ke retina, dan kemudian ke otak sebagai pulsa-pulsa listrik belaka. Jika pulsa listrik itu mengalami distorsi, maka pusat penglihatan itu bakal salah dalam memahami penglihatan tersebut.
Jadi kefahaman yang disimpulkan sangat bergantung pada kualitas jalur penglihatan mulai dari lensa, retina, syaraf-syaraf penglihatan sampai dengan sel-sel otak yang terkait dengan proses penglihatan. Padahal kita tahu bahwa ketajaman lensa mata kita tidaklah tertalu tinggi, misalnya, lensa mata kita tidak mampu melihat benda yang sangat kecil, seprti pori-pori kulit kita, bakteri, virus, molekul, atom, proton, electron dan neutron, apalagi quark. Yang terlalu besarpun tidak sanggup, cobalah melihat gajah dalam jarak 1 cm dari badannya, malah kita tidak sanggup melihatnya. Belum lagi melihat dalam kegelapan, atau ditempat yang sangat terang menyilaukan. Kita melihat fatamorgana seperti air ditanah yang tandus dan panas.  Gunung berwarna biru yang sebenarnya kalau didekati ia berwarna hijau dedaunan. Sengkatnya penglihatan kita sangatlah terbatas.
Sehingga banyak hal yang tidak dapat kita fahami hanya dengan mengandalkan sekedar melihat. Demikian pula dengan indra yang lain, seperti hidung. Saat lewat ditempat penampungan sampah terasa bau sekali. Tapi jika kita berhenti disitu dan bertahan selama 1 jam lamanya, ternyata indra penciuman kita dapat berkompromi yang lambat laun tidak begitu terasa bau. Kenapa demikian karena hidung kita dapat beradaptasi. Itulah sebabnya kesadaran atau kefahaman yang hanya didasari pada panca indra saja bakal menjebak kita pada kekeliruan yang mendasar.
Panca indra tidak cukup digunakan untuk memahami kenyataan. Karena ternyata kenyataan yang terhampar disekitar kita berbeda dengan tertangkap oleh mata, telinga, dan seluruh panca indra. Hanya anak kecillah yang bertumpu sepenuhnya pada pemahaman panca indranya untuk membangun kefahaman terhadap realitas disekitarnya.
2. Kesadaran rasional/Ilmiah
sesorang pada tingkat ini, memahami realitas kehidupan, tidak bergantung hanya bertumpu pada panca indra, tapi eksplorasi lebih jauh dengan mengambil pelajaran dari orang lain, bahkan akan menyimpulkan dari berbagai penelitian yang berkait dengan masalahnya. Ia membandingkan dengan hasil-hasil pengamatan yang menggunakan alat-alat bantu yang lebih canggih, atau analisa-analisa matematis dan perhitungan keilmuan lainnya. Sebagai contoh, kalau kita melihat sepotong logam, tampak bahwa logam itu adalah benda padat yang tidak berlubang dan tidak tembus penglihatan. Akan tetapi jika kita menggunakan mikroskop electron untuk melihat sepotong logam, kita bakal melihat suatu yang berbeda. Ternyata logam tersebut berpori dan kropos seperti busa.
Contoh lain, kita tidak dapat melihat janin di dalam rahim seorang ibu dengan mata telanjang. Tapi dengan menggunkan USG maka kita akan mendapatkan pemahaman yang lebih utuh tentang alam semesta dan lingkungan hidupnya. Pada tingkatan ini tiba-tiba ia melihat dunia ini berbeda, bukan seperti yang ia amati selama ini. Banyak hal yang tidak terdeteksi dan kini bermunculan. Kini ia melihat, mencium, mendengar dan merasa dengan akalnya. Seseorang yakin bahwa sebelum makan ia harus cuci tangan dengan sabun, karena bisa jadi dari aktivitas sebelumnya telah banyak bakteri atau virus yang menempel ditangannya. Padahal penglihatan matanya terhadap tangannya bersih-bersih saja.
Penglihatan akalnyalah yang mengatakan bahwa tangannya sudah tidak bersih. Inilah yang digambarkan Allah SWT, dalam QS. Al Ankabuut (29): 43 Dan perumpamaan-perumpamaan ini kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. Juga pada QS. Ar Ra’d (13): 19 Maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan Tuhan kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.

Otak Besar, Organ Yang Paling Membingungkan

Menurut laporan Life Science Amerika Serikat, bahwa sejumlah besar misteri yang sulit dipecahkan dalam tubuh manusia terhimpun di dalam otak besar. Otak besar merupakan organ yang paling membingungkan kita, seperti misalnya hidup dan mati, kesadaran, tidur dsb, semua itu adalah misteri yang belum mampu dipecahkan manusia hingga saat ini.

1.Alam mimpi
Jika kita menanyakan soal yang sama pada 10 orang, apa yang menyebabkan kita bermimpi? Mungkin anda akan memperoleh 10 jawaban yang tidak sama. Ini dikarenakan misteri yang belum bisa dipecahkan ilmuwan saat ini. Teori pertama bahwa melalui rangsangan saraf informasi antar molekul otak besar menjalankan latihan terhadap otak besar selama mimpi berlangsung. Teori lainnya adalah orang-orang bermimpi akan tugas dan perasaan yang tidak sempat diperhatikan lagi, dalam proses demikian bisa membantu kita memperkuat ingatan dan pikiran. Umumnya, ilmuwan setuju dengan pengertian bahwa “mimpi bisa terjadi saat tidur sebentar”.
2.Tidur
Dalam sepanjang hidup manusia sedikitnya menghabiskan ¼ waktunya untuk tidur. Tidur sangat vital bagi keberlangsungan hidup makhluk menyusui, tidur dalam jangka yang terlalu lama dapat menyebabkan kurang sadarkann diri, halusinasi, dan pada akhirnya menyebabkan kematian.
Dua kondisi selama tidur berlangsung yakni masa tidur penuh (aktivitas bola mata melambat), saat demikian aktivitas metabolisme otak melambat; dan masa tidur sebentar (saat demikian bisa bermimpi), saat demikian aktivitas otak sangat dinamis. Menurut ilmuwan bahwa tidur dalam masa sepenuhnya dapat membuat tubuh kita istirahat, menjaga stamina, seperti tidurnya binatang. Tidur dalam masa sebentar dapat membantu membentuk sesuatu yang diingat, namun, pengertian ini belum dibuktikan.
3.Halusinasi
Diperkirakan sekitar 80% orang yang diamputasi pernah mengalami perasaan tersiksa, stres, keinginan, kehangatan dan lain-lain perasaan. Orang yang mengalami fenomena demikian, selalu merasa anggota tubuh yang dipotong masih eksis. Sebuah penjelasan berpendapat, daerah saraf yang terpotong membentuk hubungan yang baru dengan sumsum tulang belakang, dimana anggota tubuh yang kurang seolah-olah masih ada, terus mengirim sinyal ke otak besar. Kemungkinan lainnya, otak besar adalah sebuah “kawat” transmisi, ia mengendalikan tubuh yang cacad bagaikan memperlakukan tubuh yang sempurna tanpa cacad, ini berarti otak besar tetap menyimpan kendali ketika anggota tubuh masih dalam keadaan utuh dan sempurna.
4.Tertawa
Tertawa adalah salah satu perilaku manusia yang paling sulit dimengerti. Saat kita tertawa, ada tiga bagian otak besar kita menjadi dinamis yakni: daerah dalam kekuasaan pikiran, ia membuat Anda mendapatkan banyolan (tertawa); daerah gerakan mendorong otot Anda bergerak; daerah emosi (perasaan) membuat kita menyunggingkan senyuman. Perintis peneliti humor John Morryer mendapati, suara tawa adalah sebuah reaksi yang sangat menarik terhadap cerita yang menyalahi kebiasaan. Dan pengertian lainya menganggap tawa sebagai sebuah saluran yang mengirimkan informasi “menarik (lucu)” kepada orang lain. Dengan demikian tampak jelas: tertawa membuat perasaan kita lebih baik.
5. Apriori (bawaan) dan sesudah lahir
Apakah pikiran dan sifat kita dikendalikan oleh gen atau berhubungan dengan lingkungan pertumbuhan sesudah lahir, masalah ini selalu diperdebatkan selama ini. Untungnya, para ilmuwan tengah berupaya mencoba mengumpulkan sejumlah besar bukti yang meyakinkan, untuk menjawab pertanyaan di atas. Kurangnya kemampuan meneliti gen individual, menunjukkan bahwa kita sama sekali tidak mampu mengendalikan atas sejumlah besar karakteristik manusia. Namun, beberapa hasil penelitian mendapati, bahwa dalam banyak hal, tekanan yang dihadapi segenerasi atau pendidikan yang diterima, akan menimbulkan dampak yang dalam terhadap orang yang bagaimana, dan apa yang akan kita lakukan.

Doa Memohon Perlindungan Allah Dari 4 Keburukan

da sebuah doa yang diajarkan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam. Di dalamnya terkandung permohonan agar Allah melindungi kita dari empat keburukan. Doanya berbunyi sebagai berikut:

“Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak pernah kenyang, dan dari doa yang tidak dikabulkan.”(HR Muslim 4899)
Setiap muslim tentunya tidak ingin terlibat dengan keempat macam keburukan yang disebutkan di dalam doa ini. Pertama, ilmu yang tidak bermanfaat. Ilmu yang tidak bermanfaat adalah semua jenis ilmu yang tidak mengantarkan seseorang kepada penambahan iman. Ilmu yang tidak bermanfaat justru merongrong iman seseorang sehingga semakin lama imannya semakin menipis. Sedangkan ilmu bermanfaat ialah ilmu yang membuat seseorang menjadi semakin dekat dengan Allah. Ilmu bermanfaat akan mengantarkan seseorang untuk menjadi ingat akan kehidupan sejati kelak di akhirat. Contohnya ialah para ulul al-bab (orang-orang yang berakal) yang disebutkan di dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
“…Sungguh terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.” (QS Ali Imran ayat 190-192)
Ulul al-bab merupakan orang-orang yang menggunakan akal mereka sehingga setelah melakukan pengamatan terhadap alam sambil mengingat Allah, lalu mereka segera teringat akan kehidupan di akhirat. Sehingga mereka segera berdoa: “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Inilah gambaran mereka yang cermat dalam memilih ilmu untuk diamalkan. Mereka sibuk dengan ilmu yang bermanfaat. Mereka sangat peduli untuk memastikan bahwa ilmu apapun yang dikejar haruslah mengantarkan mereka menjadi lebih dekat dan tunduk kepada Allah. Ilmu yang bermanfaat ialah ilmu yang segera membangkitkan ingatan akan kehidupan akhirat yang hakiki dan abadi. Mereka sangat waspada dan curiga terhadap berbagai ilmu yang potensial mengancam stabilitas iman. Mereka sangat khawatir terhadap berbagai ilmu yang menimbulkan keraguan akan kebenaran ajaran Allah, Din Al-Islam. Mereka waspada menghadapi ilmu yang membuat mereka lebih cinta kepada dunia dan melalaikan mereka akan akhirat.
Kedua, hati yang tidak khusyu’. Keburukan berikutnya adalah memiliki hati yang tidak khusyu’. Artinya hati yang tidak tunduk kepada Allah. Hati yang liar dan tidak bersandar kepada Allah dalam menggapai ketenteraman. Padahal ciri orang beriman ialah bila mengingat Allah hati mereka menjadi tenteram.
”(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS Ar-Ra’du ayat 28)
Sedemikian pentingnya memiliki hati yang khusyu’ (tunduk) sehingga Allah sendiri memperingatkan kita agar waspada terhadap kekeringan atau kegersangan hati. Hal ini muncul bila orang beriman terlalu lama mengabaikan ayat-ayat Allah. Mereka sengaja membuat jarak dengan ayat-ayat Allah sehingga dengan berjalannya waktu hati menjadi tidak khusyu’ alias menjadi keras. Satu-satunya solusi ialah kembali menghidupkan ingatan dan perhatian terhadap ayat-ayat Allah. Hidupkan makna ayat-ayat tersebut di dalam kehidupan nyata.
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk(khusyu’) hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Hadid ayat 16)
Ketiga, nafsu yang tidak pernah kenyang. Ini merupakan keburukan berikutnya. Apalagi kita sedang menjalani zaman paling kelam dalam sejarah Islam. Di zaman ini begitu banyak fitnah yang tersebar, sehingga tawaran untuk menuruti hawa-nafsu bermunculan di sekeliling kita. Hampir dalam semua situasi ada peluang untuk menuruti hawa-nafsu. Maka di zaman seperti ini sangat diperlukan pengendalian diri. Sangat diperlukan kemampuan untuk memuaskan nafsu dengan cara yang sesuai syariat dan proporsional. Islam tidak datang untuk membunuh nafsu. Islam datang untuk mengendalikan hawa-nafsu. Sehingga kebutuhan pemuasan nafsu bukan dimatikan melainkan diarahkan agar sesuai dengan aturan syariat Allah. Dan bila hal ini dilakukan maka bukan saja seseorang terbebas dari dosa bahkan ia dapat memperoleh pahala dari Allah atas pemenuhan hawa-nafsu yang sesuai syariat Allah.
“Sesungguhnya di antara sahabat Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam ada yang berkata:”Ya Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan sholat sebagaimana kami mengerjakan sholat, dan mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Bukankah Allah telah menjadikan bagimu sesuatu untuk bersedekah? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah sedekah, tiap-tiap tahmid adalah sedekah, tiap-tiap tahlil adalah sedekah, menyuruh seseorang kepada kebaikan adalah sedekah, melarangnya dari kemungkaran adalah sedekah dan bersetubuhnya seorang kamu dengan istrinya adalah sedekah.” Mereka bertanya: ”Ya Rasulullah, apakah jika salah seorang di antara kami menyalurkan syahwatnya, apakah ia mendapat pahala?” Rasulullah menjawab: ”Tidakkah kamu tahu, apabila seseorang menyalurkan syahwatnya pada yang haram, dia berdosa? Demikian pula apabila disalurkannya kepada yang halal, dia mendapat pahala.” (HR Muslim 1674)
Keempat, doa yang tidak dikabulkan. Ini jelas merupakan suatu keburukan. Bayangkan, seorang muslim berdoa kepada Allah namun tidak dikabulkan. Jelas ini merupakan suatu musibah. Padahal Allah sendiri menjamin bahwa jika seseorang memohon sesuatu kepada Allah, pasti Allah akan kabulkan. Tentu ada syaratnya: pertama, memohon hanya kepada Allah, tidak kepada selainNya; kedua, penuhi segenap perintah Allah dan ketiga, beriman dengan sebenarnya kepada Allah SWT.
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS Al-Baqarah ayat 186)

Sikap Umum Yahudi Bila Diajak Masuk Islam

Di masa Nabi ada seorang pendeta Yahudi bernama Hushain bin Salam bin Harits. Ia percaya bahwa Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam merupakan Nabi di akhir zaman sebagimana diterangkan dalam riwayat Taurat dan Injil. Setelah kedatangan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam ke Madinah iapun masuk Islam. Setelah memeluk Islam Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengubah namanya menjadi Abdullah bin Salam. Di bawah ini kami cuplik kisahnya berkenaan dengan hubungannya dengan kaum Yahudi sebagaimana ditulis oleh Munawar Chalil dalam bukunya ”Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad”.

Untuk membuktikan bahwa kaum Yahudi itu pendusta dan pengkhianat terhadap kebenaran, maka pada suatu hari Abdullah bin Salam diam-diam datang ke rumah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam. Ia minta kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam jika kaum Yahudi datang agar Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menanyakan pendapat mereka tentang dirinya (Abdullah bin Salam). Ia juga minta izin kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam agar dirinya boleh bersembunyi di suatu bilik saat kaum Yahudi bertemu Nabi shollallahu ’alaih wa sallam.
Setelah kaum Yahudi berhadapan muka dengan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam, beliau bertanya: ”Bagaimana keadaan seorang lelaki yang bernama Hushain bin Salam?” Mereka berkata: ”Ia ada dalam kebaikan.”
Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bertanya pula: ”Bagaimana pendapat kamu tentang dirinya?”
Mereka menjawab: ”Menurut kami, ia adalah tuan kami dan anak lelaki tuan kami. Ia adalah sebaik-baik orang kami dan sebaik-baik anak lelaki orang kami. Ia adalah semulia-mulia orang kami dan anak lelaki dari seorang yang paling alim dalam golongan kami, karena dewasa ini di kota Madinah tidak ada seorangpun yang melebihi kealimannya tentang kitab Allah (Taurat).”
Mereka terus memuji-muji Abdullah bin Salam. Setelah itu Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Jadi, Hushain bin Salam itu adalah seorang dari golongan kalian yang paling terpandang segala-galanya menurut pendapat kalian?”
Mereka menjawab: ”Benar, Muhammad.”
Kemudian Nabi shollallahu ’alaih wa sallam berseru: ”Hai Hushain bin Salam keluarlah!”
Keluarlah Abdullah bin Salam lalu mendekat ke Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan berseru kepada kaumnya: ”Hai golongan orang-orang Yahudi, hendaklah kalian semua takut kepada Allah! Terimalah dengan baik segala apa yang telah datang kepada kamu! Demi Allah, sesungguhnya kalian telah tahu bahwa beliau ini adalah pesuruh Allah yang kalian telah temukan dan kenali sifat-sifatnya di dalam kitab agama yang ada di sisi kalian. Sesungguhnya saya telah menyaksikan bahwa beliau ini adalah nabi dan pesuruh Allah sebab memang sebelumnya saya telah mengenal sifat-sifat beliau seperti tersebut dalam kitab Taurat. Maka kini saya telah percaya kepadanya, membenarkan segala yang dibawanya dan mengikuti semua seruannya.”
Mendengar ucapan Abdullah bin Salam, mereka dengan sangat menyesal menjawab: ”Oh tuan berdusta! Mengapa tuan berani berkata begitu?”
Abdullah menjawab: ”Celakalah kalian semua! Takutlah kalian kepada Allah! Apakah kamu semua tidak mengenal sifat-sifat beliau ini dalam kitab Tauratmu?”
Mereka berkata: ”Tidak! Tuanlah yang berdusta! Tuan adalah sejelek-jelek orang dari golongan kita! Sebab Tuan sekarang sudah beragama lain!”
Kemudian mereka pergi. Lalu Abdullah berkata kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam: ”Inilah yang saya khawatirkan, ya Rasulullah. Bukankah saya telah menuturkan sebelumnya kepada Tuan bahwa kaum Yahudi adalah pendusta, pembohong, pengkhianat dan pendurhaka?”
Maka pada saat itu juga Allah wahyukan kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam ayat berikut:
”Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku, bagaimanakah pendapatmu jika Al Qur’an itu datang dari sisi Allah, padahal kamu mengingkarinya dan seorang saksi dari Bani Israil mengakui (kebenaran) yang serupa dengan (yang disebut dalam) Al Qur’an lalu dia beriman, sedang kamu menyombongkan diri. Sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.(QS Al-Ahqaf ayat 10)
Setelah kabar keislaman Abdullah bin Salam tersiar di kalangan kaum Yahudi, maka mereka dengan congkak dan sombong mengata-mengatai, mencaci-maki, menghina, menjelek-jelekkan dan memusuhinya dengan sekeras-kerasnya. Pada suatu hari di antara pendeta-pendeta Yahudi ada yang berkata kepada yang lainnya dan perkataan itu sengaja ditujukan kepada Abdullah bin Salam, di antaranya: ”Tidak akan seseorang yang percaya kepada Muhammad dan seruannya melainkan orang yang seburuk-buruknya dan serendah-rendahnya. Orang yang paling baik dan paling mulia dari golongan kita tidak akan berani meninggalkan agama pusaka nenek moyangnya dan mengikuti agama lain, dari golongan lain dan bangsa lain. Jadi, barangsiapa dari golongan kita sampai mengikuti agama Muhammad teranglah bahwa ia seorang yang sejahat-jahatnya di kalangan kita.”
Abdullah bin Salam tidak menghiraukan segala ucapan dan hinaan mereka itu. Lalu sehubungan dengan peristiwa ini Allah wahyukan kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam ayat-ayat berikut:
”Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala) nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran ayat 113-115)
Saudaraku, demikianlah sikap kaum Yahudi pada umumnya bilamana diajak kepada agama Allah. Mereka tidak memiliki obyektifitas sedikitpun bila diajak untuk menerima hidayah dan kebenaran. Mereka sangat keras kepala dan membabi buta mempertahankan ideologi rasialisme dan fanatisme kelompok. Sehingga orang yang semula mereka katakan baik dan mulia serta-merta mereka hina dan caci bilamana orang tersebut menerima kebenaran agama Islam yang berarti harus meninggalkan agama asalnya, yaitu Yahudi.
sumber : eramuslim.com

Rahasia Ubun-ubun dalam Alquran



Gambar otak manusia bagian depan yang disebut Allah dalam Al Qur’an Al Karim dengan kata nashiyah (ubun-ubun).
Al-Qur’an menyifati kata nashiyah dengan kata kadzibah khathi’ah (berdusta lagi durhaka). Allah berfirman, “(Yaitu) ubun-ubun yang mendustakan lagi durhaka.” (Al-‘Alaq: 16)
Bagaimana mungkin ubun-ubun disebut berdusta sedangkan ia tidak berbicara? Dan bagaimana mungkin ia disebut durhaka sedangkan ia tidak berbuat salah?
Prof. Muhammad Yusuf Sakr memaparkan bahwa tugas bagian otak yang ada di ubun-ubun manusia adalah mengarahkan perilaku seseorang. “Kalau orang mau berbohong, maka keputusan diambil di frontal lobe yang bertepatan dengan dahi dan ubun-ubunnya. Begitu juga, kalau ia mau berbuat salah, maka keputusan juga terjadi di ubun-ubun.”
Kemudian ia memaparkan masalah ini menurut beberapa pakar ahli. Di antaranya adalah Prof. Keith L More yang menegaskan bahwa ubun-ubun merupakan penanggungjawab atas pertimbangan-pertimbangan tertinggi dan pengarah perilaku manusia. Sementara organ tubuh hanyalah prajurit yang melaksanakan keputusan-keputusan yang diambil di ubun-ubun.
Karena itu, undang-undang di sebagian negara bagian Amerika Serikat menetapkan sanksi gembong penjahat yang merepotkan kepolisian dengan mengangkat bagian depan dari otak (ubun-ubun) karena merupakan pusat kendali dan instruksi, agar penjahat tersebut menjadi seperti anak kecil penurut yang menerima perintah dari siapa saja.
Dengan mempelajari susunan organ bagian atas dahi, maka ditemukan bahwa ia terdiri dari salah satu tulang tengkorak yang disebut frontal bone. Tugas tulang ini adalah melindungi salah satu cuping otak yang disebut frontal lobe. Di dalamnya terdapat sejumlah pusat neorotis yang berbeda dari segi tempat dan fungsinya.
Lapisan depan merupakan bagian terbesar dari frontal lobe, dan tugasnya terkait dengan pembentukan kepribadian individu. Ia dianggap sebagai pusat tertinggi di antara pusat-pusat konsentrasi, berpikir, dan memori. Ia memainkan peran yang terstruktur bagi kedalaman sensasi individu, dan ia memiliki pengaruh dalam menentukan inisiasi dan kognisi.
Lapisan ini berada tepat di belakang dahi. Maksudnya, ia bersembunyi di dalam ubun-ubun. Dengan demikian, lapisan depan itulah yang mengarahkan sebagian tindakan manusia yang menunjukkan kepribadiannya seperti kejujuran dan kebohongan, kebenaran dan kesalahan, dan seterusnya. Bagian inilah yang membedakan di antara sifat-sifat tersebut, dan juga memotivasi seseorang untuk bernisiatif melakukan kebaikan atau kejahatan.
Ketika Prof. Keith L Moore melansir penelitian bersama kami seputar mukjizat ilmiah dalam ubun-ubun pada semintar internasional di Kairo, ia tidak hanya berbicara tentang fungsi frontal lobe dalam otak (ubun-ubun) manusia. Bahkan, pembicaraan merembet kepada fungsi ubun-ubun pada otak hewan dengan berbagai jenis. Ia menunjukkan beberapa gambar frontal lobe sejumlah hewan seraya menyatakan, “Penelitian komparatif terhadap anatomi manusia dan hewan menunjukkan kesamaan fungsi ubun-ubun.
Ternyata, ubun-ubun merupakan pusat kontrol dan pengarauh pada manusia, sekaligus pada hewan yang memiliki otak. Seketika itu, pernyataan Prof. Keith mengingatkan saya tentang firman Allah, “Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 56)
Beberapa hadits Nabi SAW yang bericara tentang ubun-ubun, seperti doa Nabi SAW, “Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu dan anak hamba perempuan-Mu, ubun-ubunku ada di tangan-Mu…”
Juga seperti doa Nabi SAW, “Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan setiap sesuatu yang Engkau pegang ubun-ubunnya…”
Juga seperti sabda Nabi SAW, “Kuda itu diikatkan kebaikan pada ubun-ubunnya hingga hari Kiamat.”
Apabila kita menyandingkan makna nash-nash di atas, maka kita menyimpulkan bahwa ubun-ubun merupakan pusat kontrol dan pengendali perilaku manusia, dan juga perilaku hewan.
Makna Bahasa dan Pendapat Para Mufasir:
Allah berfirman, yang artinya :
“Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang berdusta lagi durhaka.” (Al-‘Alaq: 15-16)
Kata nasfa’ berarti memegang dan menarik. Sebuah pendapat mengatakan bahwa kata ini terambil dari kalimat safa’at asy-syamsu yang berarti matahari mengubah wajahnya menjadi hitam. Sementara kata nashiyah berarti bagian depan kepala atau ubun-ubun.
Mayoritas mufasir menakwili ayat bahwa sifat bohong dan durhaka itu bukan untuk ubun-ubun, melainkan untuk empunya. Sementara ulama selebihnya membiarkannya tanpa takwil, seperti al-Hafizh Ibnu Katsir.
Dari pendapat para mufasir tersebut, jelas bahwa mereka tidak tahu ubun-ubun sebagai pusat pengambilan keputusan untuk berbuat bohong dan durhaka. Hal itu yang mendorong mereka untuk menakwilinya secara jauh dari makna tekstual. Jadi, mereka menakwili shifat dan maushuf (yang disifati) dalam firman Allah, “Ubun-ubun yang dusta lagi durhaka” itu sebagai mudhaf dan mudhaf ilaih. Padahal perbedaan dari segi segi bahasa antara shifat dan maushuf dengan mudhaf dan mudhaf ilaih itu sangat jelas.
Sementara mufasir lain membiarka nash tersebut tanpa memaksakan diri untuk memasuki hal-hal yang belum terjangkau oleh pengetahuan mereka pada waktu itu.
Sisi-Sisi Mukjizat Ilmiah:
Prof. Keith L Moore mengajukan argumen atas mukjizat ilmiah ini dengan mengatakan, “Informasi-informasi yang kita ketahui tentang fungsi otak itu sebelum pernah disebutkan sepanjang sejarah, dan kita tidak menemukannya sama sekali dalam buku-buku kedokteran. Seandainya kita mengumpulkan semua buku pengobatan di masa Nabi SAW dan beberapa abad sesudahnya, maka kita tidak menemukan keterangan apapun tentang fungsi frontal lobe atau ubun-ubun. Pembicaraan tentangnya tidak ada kecuali dalam kitab ini (al-Qur’an al-Karim). Hal itu menunjukkan bahwa ini adalah ilmu Allah yang pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu, dan membuktikan bahwa Muhammad adalah Utusan Allah.
Pengetahuan tentang fungsi frontal lobe dimulai pada tahun 1842, yaitu ketika salah seorang pekerja di Amerika tertusuk ubun-ubunnya stik, lalu hal tersebut memengaruhi perilakunya, tetapi tidak membahayakan fungsi tubuh yang lain. Dari sini para dokter mulai mengetahui fungsi frontal lobe dan hubungannya dengan perilaku seseorang.
Para dokter sebelum itu meyakini bahwa bagian dari otak manusia ini adalah area bisu yang tidak memiliki fungsi. Lalu, siapa yang Muhammad SAW bahwa bagian dari otak ini merupakan pusat kontrol manusia dan hewan, dan bahwa ia adalah sumber kebohongan dan kesalahan.
Para mufasir besar terpaksa menakwili nash yang jelas bagi mereka ini karena mereka belum memahami rahasianya, dengan tujuan untuk melindungi Al Qur’an dari pendustaan manusia yang jahil terhadap hakikat ini di sepanjang zaman yang lalu. Sementara kita melihat masalah ini sangat jelas di dalam Kita Allah dan Sunnah Rasulullah SAW, bahwa ubun-ubun merupakan pusat kontrol dan pengarah dalam diri orang dan hewan.
Jadi, siapa yang memberitahu Muhammad SAW di antara seluruh umat di bumi ini tentang rahasia dan hakikat tersebut? Itulah pengetahuan Allah yang tidak datang kepadanya kebatilan dari arah depan dan belakangnya, dan itu merupakan bukti dari Allah bahwa Al Qur’an itu berasal dari sisi-Nya, karena ia diturunkan dengan pengetahuan-Nya. Oleh Syaikh Zindani dari eramuslim.com