Tiga Tingkatan Kaum Muslimin

(Oleh: Ustadz Ashim Bin Musthafa)

(Qs. Fâthir/35:32)
Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
yaitu Al Kitab (Al Quran) itulah yang benar,
dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui
lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.

(Qs. Fâthir/35:31)



AL-QUR‘AN MERUPAKAN KEBENARAN DARI ALLAH TA'ALA
Allâh Ta'ala mengabarkan bahwa Al-Qur‘ân yang diwahyukan kepada Rasul-Nya adalah kebenaran. Muatan kebenaran yang terkandung di dalam Al-Qur‘ân memberikan pengertian bahwa seluruh perkara dan urusan yang telah tertera di dalamnya, baik dalam masalah ilahiyyat (aqidah tentang Allâh Ta'ala), perkara-perkara ghaib, maupun perkara-perkara lainnya adalah persis dengan kenyataan yang sebenarnya.
Al-Qur‘ân membenarkan kitab-kitab dan para rasul sebelumnya. Para rasul sebelum Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam juga telah mengabarkan akan datangnya Al-Qur‘ân. Oleh sebab itu, tidak mungkin seseorang beriman kepada kitab-kitab yang dibawa oleh para rasul (sebelum Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam) tersebut, akan tetapi mengingkari Al-Qur‘ân. Pasalnya, pengingkaran orang tersebut kepada Al-Qur‘ân bertentangan dengan keimanannya kepada kitab-kitab sebelumnya (karena berita tentang Al-Qur‘ân telah termuat di dalam kitab-kitab tersebut).
Ditambah lagi, keterangan-keterangan dalam kitab-kitab sebelumnya tersebut bersesuaian dengan apa yang tertera di dalam Al-Qur‘ân. Misalnya, Allâh Ta'ala memberi kepada masing-masing umat sesuatu yang sesuai dengan kondisinya.
Dalam konteks ini, syariat-syariat yang berlaku pada zaman dahulu tidak relevan kecuali untuk masa dan zaman mereka. Oleh karena itu, Allâh Ta'ala senantiasa mengutus para rasul, sampai akhirnya ditutup oleh Rasûlullâh Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam. Beliau datang dengan aturan syariat yang relevan untuk setiap tempat dan masa. Demikian ringkasan keterangan Syaikh as-Sa’di rahimahullâh tentang ayat ke 31 dari surat Fâthir.[1]

TIGA GOLONGAN KAUM MUSLIMIN
Allâh Ta'ala mengabarkan betapa agung kemurahan dan kenikmatan-Nya yang telah dicurahkan kepada umat Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam. Pilihan Allâh Ta'ala kepada mereka, lantaran mereka umat yang sempurna dengan akalnya, memiliki pemikiran terbaik, hati yang lunak, dan jiwa yang bersih.[2]
Secara khusus, Allâh Ta'ala mewariskan kitab yang berisi kebenaran dan hidayah hakiki (Al-Qur‘ân) kepada mereka. Kitab suci yang juga memuat kandungan al-haq yang ada dalam Injil dan Taurat. Sebab, dua kitab tersebut sudah tidak relevan untuk menjadi hidayah dan pedoman bagi umat manusia, lantaran telah terintervensi oleh campur tangan manusia.[3]
Allâh Ta'ala menggolongkan orang-orang yang menerima Al-Qur‘ân, yaitu kaum muslimin menjadi tiga macam golongan. Golongan pertama disebut zhâlim linafsihi. Golongan kedua disebut muqtashid. Golongan terakhir disebut sâbiqun bil-khairât.

Golongan Pertama : zhâlim linafsihi (zhâlim linafsihi)
Makna zhâlim linafsihi merupakan sebutan bagi orang-orang muslim yang berbuat taqshîr (kurang beramal) dalam sebagian kewajiban, ditambah dengan tindakan beberapa pelanggaran terhadap hal-hal yang diharamkan, termasuk dosa-dosa besar.[4] Atau dengan kata lain, orang yang taat kepada Allâh Ta'ala, akan tetapi ia juga berbuat maksiat kepada-Nya. Karakter golongan ini tertuang dalam firman Allâh Ta'ala berikut:[5]
(Qs. at-Taubah/9: 102)
Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka,
mereka mencampur-baurkan perkerjaan yang baik
dengan pekerjaan lain yang buruk.
Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(Qs. at-Taubah/9: 102)

Golongan Kedua: al-muqtashid (al-muqtashid)
Orang-orang yang termasuk dalam istilah ini, ialah mereka yang taat kepada Allâh Ta'ala tanpa melakukan kemaksiatan, namun tidak menjalankan ibadah-ibadah sunnah untuk mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala. Juga diperuntukkan bagi orang yang telah mengerjakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan saja. Tidak lebih dari itu.[6] Atau dalam pengertian lain, orang-orang yang telah mengerjakan kewajiban-kewajiban, meninggalkan perbuatan haram, namun diselingi dengan meninggalkan sejumlah amalan sunnah dan melakukan perkara yang makruh.[7]

Golongan Ketiga: sâbiqun bil-khairât (sâbiqun bil-khairât)
Kelompok ini berciri menjalankan kewajiban-kewajiban dari Allâh Ta'ala dan menjauhi muharramât (larangan-larangan). Selain itu, keistimewaan yang tidak lepas dari mereka adalah kemauan untuk menjalankan amalan-amalan ketaatan yang bukan wajib (sunnat) untuk mendekatkan diri mereka kepada Allâh Ta'ala.[8] Atau mereka adalah orang-orang yang mengerjakan kewajiban-kewajiban, amalan-amalan sunnah lagi menjauhi dosa-dosa besar dan kecil.[9]
Adalah merupakan sesuatu yang menarik, manakala Imam al-Qurthubi rahimahullâh mengetengahkan sekian banyak pendapat ulama berkaitan dengan sifat-sifat tiga golongan di atas. Sehingga bisa dijadikan sebagai cermin dan bahan muhasabah (introspeksi diri) bagi seorang muslim dalam kehidupan sehari-harinya; apakah ia termasuk dalam golongan pertama (paling rendah), tengah-tengah, atau menempati posisi yang terbaik dalam setiap sikap, perkataan dan tindakan.[10]

JANJI BAIK DARI ALLAH TA'ALA KEPADA TIGA GOLONGAN TERSEBUT
Kemudian Allâh Ta'ala menjelaskan bahwa Dia menjanjikan Jannatun-Na’im terhadap tiga golongan itu, dan Allâh Ta'ala tidak memungkiri janji-Nya.
Allâh Ta'ala berfirman:
(Qs. Fâthir/35:33)
(Bagi mereka) surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya,
di dalamnya mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas,
dan dengan mutiara, dan pakaian mereka di dalamnya adalah sutera.

(Qs. Fâthir/35:33)

Janji Allâh Ta'ala berupa Jannatun-Na’îm kepada semua golongan tersebut, digapai pertama kali – berdasarkan urutan pada ayat – oleh golongan zhâlim linafsih. Hal tersebut menunjukkan bahwa ayat ini termasuk arjâ âyâtil-Qur‘ân. Yaitu ayat Al-Qur‘ân yang sangat membekaskan sikap optimisme yang sangat kuat pada umat. Tidak ada satu pun seorang muslim yang keluar dari tiga klasifikasi di atas. Sehingga ayat ini dapat dijadikan sebagai dasar argumentasi bahwa pelaku dosa besar tidak kekal abadi di neraka. Pasalnya, golongan orang kafir dan balasan bagi mereka, secara khusus telah dibicarakan pada ayat-ayat setelahnya (surat Fâthir/35 ayat 36-37).
Syaikh ‘Abdul-Muhsin al-Abbâd hafizhahullah berkata tentang ayat di atas: “Allâh Ta'ala mengabarkan tentang besarnya kemurahan dan kenikmatan dengan memilih siapa saja yang Dia kehendaki untuk masuk Islam dengan mencakup tiga golongan secara keseluruhan. Setiap orang yang telah memperoleh hidayah Islam dari Allâh Ta'ala, maka tempat kembalinya adalah jannah, kendati golongan pertama akan mengalami siksa atas perbuatan kezhaliman yang dilakukan terhadap dirinya sendiri”.[11]
Hal ini sangat berbeda dengan kondisi Ahlul Kitab. Mereka hanya terbagi menjadi dua kelompok, yakni golongan yang muqtashid dalam beramal, dan golongan kedua yang jumlahnya lebih dominan adalah orang-orang yang amalannya buruk.
Allâh Ta'ala berfirman:
(Qs. al-Mâ‘idah/5:66)
… Di antara mereka ada golongan yang pertengahan.
Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.

(Qs. al-Mâ‘idah/5:66)

MENGAPA ZHÂLIMUN LINAFSIHI DIDAHULUKAN PENYEBUTANNYA DALAM AYAT?
Mengapa golongan zhâlim linafsihi dikedepankan dalam memperoleh janji Jannatun-Na’iim dibandingkan dua golongan lainnya (al-muqatshid dan sâbiqun bil-khairât), padahal merupakan tingkatan manusia yang terendah dari tiga golongan yang ada? Para ulama telah mencoba menganalisa penyebabnya. Sebagian ulama berpendapat, supaya golongan pertama itu tidak mengalami keputus-asaan dari rahmat Allâh Ta'ala, dan golongan sâbiqun bilkhairat tidak silau dan terperdaya dengan amalan sendiri. Sebagian ulama lain menyatakan, alasan mendahulukan golongan zhâlimun linafsihi lantaran mayoritas penghuni surga berasal dari golongan itu. Sebab, orang yang tidak pernah terjerumus dalam perbuatan maksiat jumlahnya sedikit. Ini berdasarkan firman Allâh Ta'ala :
(Qs. Shâd/38:24)
… Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu
sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih;
dan amat sedikitlah mereka ini…

(Qs. Shâd/38:24)
Secara lebih luas, Imam al-Qurthubi rahimahullâh telah memaparkan pendapat-pendapat ulama yang lain dalam kitab tafsirnya.[12]

NABI NUH AS

Nabi Nuh adalah nabi keempat sesudah Adam, Syith dan Idris dan keturunan kesembilan dari Nabi Adam. Ayahnya adalah Lamik bin Metusyalih bin Idris.

Dakwah Nabi Nuh Kepada Kaumnya

Nabi Nuh menerima wahyu kenabian dari Allah dalam masa "fatrah" masa kekosongan di antara dua rasul di mana biasanya manusia secara berangsur-angsur melupakan ajaran agama yang dibawa oleh nabi yang meninggalkan mereka dan kembali bersyirik meninggalkan amal kebajikan, melakukan kemungkaran dan kemaksiatan di bawah pimpinan Iblis.
Demikianlah maka kaum Nabi Nuh tidak luput dari proses tersebut, sehingga ketika Nabi Nuh datang di tengah-tengah mereka, mereka sedang menyembah berhala ialah patung-patung yang dibuat oleh tangan-tangan mereka sendiri disembahnya sebagai tuhan-tuhan yang dapat membawa kebaikan dan manfaat serta menolak segala kesengsaraan dan kemalangan.berhala-berhala yang dipertuhankan dan menurut kepercayaan mereka mempunyai kekuatan dan kekuasaan ghaib ke atas manusia itu diberinya nama-nama yang silih berganti menurut kehendak dan selera kebodohan mereka.Kadang-kadang mereka namakan berhala mereka " Wadd " dan " Suwa " kadangkala " Yaguts " dan bila sudah bosan digantinya dengan nama " Yatuq " dan " Nasr ".

NABI IDRIS AS

Tidak banyak keterangan yang didapat tentang kisah Nabi Idris di dalam Al-Quran maupun dalam kitab-kitab Tafsir dan kitab-kitab sejarah nabi-nabi. Di dalam Al-Quran hanya terdapat dua ayat tentang Nabi Idris yaitu dalam surah Maryam ayat 56 dan 57:


"Dan ceritakanlah ( hai Muhammad kepada mereka , kisah ) Idris yang terdapat di dalam Al-Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi. 57 - Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi." { Maryam : 56 - 57 }


NABI ADAM AS

Setelah Allah s.w.t.menciptakan bumi dengan gunung-gunungnya, laut-lautannya dan tumbuh - tumbuhannya, menciptakan langit dengan mataharinya, bulan dan bintang-bintangnya yang bergemerlapan menciptakan malaikat-malaikatnya ialah sejenis makhluk halus yangdiciptakan untuk beribadah menjadi perantara antara Zat Yang Maha Kuasa dengan hamba-hamba terutama para rasul dan nabinya maka tibalah kehendak Allah s.w.t. untuk menciptakan sejenis makhluk lain yang akan menghuni dan mengisi bumi memeliharanya menikmati tumbuh-tumbuhannya,mengelola kekayaan yang terpendam di dalamnya dan berkembang biak turun-temurun waris-mewarisi sepanjang masa yang telah ditakdirkan baginya.