Tingkatkan Kesadaran Anda (1)

Sering kita menganggap bahwa sadar sama dengan terjaga, padahal kedua kata mempunyai arti yang berbeda. Sadar berarti keadaan “menyadari” dan memahami suatu yang terjadi pada dirinya atau lingkungan sekitarnya. Sedangkan terjaga adalah sekedar melek atau tidak tertidur atau tidak pingsan. Bisa saja orang yang terjaga tidak menyadari segala sesuatu yang terjadi pada dirinya. Misal orang yang mabuk atau orang yang melamun. Sehingga memahami bahwa tersadar dengan terjaga adalah kondisi yang berbeda.
Secara umum kualitas kesadaran berkait dengan fungsi akal seseorang. Kualitas kesadaran yang baik, menunjukan fungsi akal yang baik juga. Sedangkan kesadaran dan akal bisa menjadi parameter atas kualitas jiwa seseorang. Atau dengan kata lain jika akal dan kesadaran rusak maka jiwanya pun rusak, dan begitulah sebaliknya.
Maka pada kesempatan ini kita dapat menyimpulkan bahwa akal dan kesadaran adalah fungsi utama pada jiwa seseorang. Seseorang dikatakan berjiwa sehat jika akal dan kesadarannya berfungsi secara sehat. Dan jiwa dikatakan tidak sehat jika akal dan kesadaran seseorang sedang tidak sehat.
Saudaraku yang selalu dalam penjagaan Allah SWT, mengamati kualitas akal, kesadaran dan jiwa sesorang ternyata tidaklah statis, tetapi bertingkat-tingkat seiring dengan kesadarannya. Ada 4 tingkat kesadaran pada diri kita, yang memberikan gambaran tentang kualitas jiwa.
1. Kesadaran Indrawi
Tingkat kesadaran ini adalah yang paling rendah pada diri seseorang, yang ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya sangat bertumpu pada fungsi panca indranya. Ia bisa memahami apa yang dilihatnya, ia bisa mengerti segala yang didengarnya, ia bisa menikmati apa yang dicium oleh indra penciumannya dan dirasakan oleh lidahnya dan kulitnya. Ketika seseorang berada pada kesadran indrawi ini, ia memperoleh nuansa pemahaman terhadap segala yang terjadi sangat nyata dan cenderung materialistik. Mereka hanya dapat memahami apa bila terjangkau oleh panca indranya. Segala sesuatu yang tidak terjangkau oleh panca indra bakal tidak diakui sebagai keberadaa. Atau kita tidak merasa perlu memikirkannya dan kemudian mengacuhkannya.
Orang semacam ini sesungguhnya terjebak pada pola pikir materialistik dan terbelakang. Kenapa demikian? Karena sesungguhnya sistem panca indra kita sangatlah terbatas. Sehingga lucu juga jika kita bergantung pada suatu yang terbatas itu untuk memahami realitas. Sebagai contoh, apa yang terjadi pada orang yang buta warna. Kalau seorang penderita buta warna bersikeras bahwa realitas warna yang ada disekitarnya adalah seperti kefahamannya, maka anda pasti akan menertawakannya.
Sebab orang yang buta warna memang tidak faham bahwa alam sekitarnya berwarna-warni. Apalagi kalau orang tersebut buta warna total akan lebih parah lagi ia hanya tahu bahwa degradasi warna itu hanya hitam, abu-abu dan putih.
Sebenarnya kalau mau intropeksi, penglihatan kita demikian terbatasnya. Bahkan pada orang yang paling sempurna penglihatannya. Karena sistem kerja penglihatan kita ternyata demikian menipu. Sebenarnya apa yang kita lihat bukanlah realitas. Sesungguhnya antara kenyataan dan apa yang kita fahami adalah 2 hal yang berbeda. Kita bukan melihat benda sesungguhnya, kecuali sekedar bayang-bayang yang tertangkap oleh lensa mata kita, diteruskan ke retina, dan kemudian ke otak sebagai pulsa-pulsa listrik belaka. Jika pulsa listrik itu mengalami distorsi, maka pusat penglihatan itu bakal salah dalam memahami penglihatan tersebut.
Jadi kefahaman yang disimpulkan sangat bergantung pada kualitas jalur penglihatan mulai dari lensa, retina, syaraf-syaraf penglihatan sampai dengan sel-sel otak yang terkait dengan proses penglihatan. Padahal kita tahu bahwa ketajaman lensa mata kita tidaklah tertalu tinggi, misalnya, lensa mata kita tidak mampu melihat benda yang sangat kecil, seprti pori-pori kulit kita, bakteri, virus, molekul, atom, proton, electron dan neutron, apalagi quark. Yang terlalu besarpun tidak sanggup, cobalah melihat gajah dalam jarak 1 cm dari badannya, malah kita tidak sanggup melihatnya. Belum lagi melihat dalam kegelapan, atau ditempat yang sangat terang menyilaukan. Kita melihat fatamorgana seperti air ditanah yang tandus dan panas.  Gunung berwarna biru yang sebenarnya kalau didekati ia berwarna hijau dedaunan. Sengkatnya penglihatan kita sangatlah terbatas.
Sehingga banyak hal yang tidak dapat kita fahami hanya dengan mengandalkan sekedar melihat. Demikian pula dengan indra yang lain, seperti hidung. Saat lewat ditempat penampungan sampah terasa bau sekali. Tapi jika kita berhenti disitu dan bertahan selama 1 jam lamanya, ternyata indra penciuman kita dapat berkompromi yang lambat laun tidak begitu terasa bau. Kenapa demikian karena hidung kita dapat beradaptasi. Itulah sebabnya kesadaran atau kefahaman yang hanya didasari pada panca indra saja bakal menjebak kita pada kekeliruan yang mendasar.
Panca indra tidak cukup digunakan untuk memahami kenyataan. Karena ternyata kenyataan yang terhampar disekitar kita berbeda dengan tertangkap oleh mata, telinga, dan seluruh panca indra. Hanya anak kecillah yang bertumpu sepenuhnya pada pemahaman panca indranya untuk membangun kefahaman terhadap realitas disekitarnya.
2. Kesadaran rasional/Ilmiah
sesorang pada tingkat ini, memahami realitas kehidupan, tidak bergantung hanya bertumpu pada panca indra, tapi eksplorasi lebih jauh dengan mengambil pelajaran dari orang lain, bahkan akan menyimpulkan dari berbagai penelitian yang berkait dengan masalahnya. Ia membandingkan dengan hasil-hasil pengamatan yang menggunakan alat-alat bantu yang lebih canggih, atau analisa-analisa matematis dan perhitungan keilmuan lainnya. Sebagai contoh, kalau kita melihat sepotong logam, tampak bahwa logam itu adalah benda padat yang tidak berlubang dan tidak tembus penglihatan. Akan tetapi jika kita menggunakan mikroskop electron untuk melihat sepotong logam, kita bakal melihat suatu yang berbeda. Ternyata logam tersebut berpori dan kropos seperti busa.
Contoh lain, kita tidak dapat melihat janin di dalam rahim seorang ibu dengan mata telanjang. Tapi dengan menggunkan USG maka kita akan mendapatkan pemahaman yang lebih utuh tentang alam semesta dan lingkungan hidupnya. Pada tingkatan ini tiba-tiba ia melihat dunia ini berbeda, bukan seperti yang ia amati selama ini. Banyak hal yang tidak terdeteksi dan kini bermunculan. Kini ia melihat, mencium, mendengar dan merasa dengan akalnya. Seseorang yakin bahwa sebelum makan ia harus cuci tangan dengan sabun, karena bisa jadi dari aktivitas sebelumnya telah banyak bakteri atau virus yang menempel ditangannya. Padahal penglihatan matanya terhadap tangannya bersih-bersih saja.
Penglihatan akalnyalah yang mengatakan bahwa tangannya sudah tidak bersih. Inilah yang digambarkan Allah SWT, dalam QS. Al Ankabuut (29): 43 Dan perumpamaan-perumpamaan ini kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. Juga pada QS. Ar Ra’d (13): 19 Maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan Tuhan kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.